Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Wijaya

Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo

Ketika Kritik Pemerintah Dianggap Menghina

Diperbarui: 30 Juli 2023   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di negeri ini, suara kritis yang mencoba meresapi lapisan kebijakan pemerintah seringkali mendapat respons yang tak terduga. Tampaknya, para pembuat kebijakan senang bermain-main dengan tirai ketidakberdayaan, menutup rapat telinga mereka dari kritik-kritik yang memang seharusnya menjadi cambuk untuk perbaikan. Di saat negara bangga berdansa di atas panggung demokrasi, kritik pun dianggap sebagai moncong senapan menghina. Ironi yang menggelitik hati.

Ketika seseorang mengangkat suaranya, menyoroti kebijakan pemerintah yang tak adil, maka ia akan dihadapkan pada pelabelan yang mengenaskan. "Menghina pemerintah," serupa mantra yang dikumandangkan oleh para pengawal kehormatan yang takut setiap langkah kritis melangkah mendekat ke singgasana kekuasaan. Maka, dengan mulusnya kritik dijauhkan, dianggap sebagai sajian pahit yang tak layak dinikmati oleh orang-orang yang telah tergila-gila dalam kekuasaan.

Bagaimana mungkin kritik yang bersifat membangun menjadi penceroboh? Di negeri ini, ironi dan logika tak jarang bermain trilogi untuk melahirkan absurditas yang menyegarkan. Ketika warga berbicara dengan bahasa kebenaran, penguasa pun menjawab dengan logika semu, mengacak-acak kata-kata kritis menjadi hinaan yang menggigit.

Seakan-akan kebijakan mereka adalah simbol kesempurnaan, dan menyentuhnya dengan kritik adalah seperti mencoret-coret lukisan kuno di dinding istana kerajaan. "Jangan menghina!" pekik mereka, sementara luka-luka sosial semakin terbuka di luar istana yang tertutup rapat.

Di negeri yang penuh hiburan, para pengkritik dianggap sebagai para pelawak pemerintahan. Mereka tampil di panggung kebenaran, dengan lelucon-leluconnya yang menusuk. Namun, dalam setiap candaan yang dilontarkan, mereka tak lelah menghadirkan potret kebenaran yang pahit. Sebab, bagaimanapun lawak itu dipersembahkan, realitas tak akan pernah berubah dengan sendirinya.

Di media sosial, kritik sering menjadi target empuk bagi para pembela tahta kekuasaan. Dalam teater cemoohan, para netizen diburu dengan tuduhan menghina dan menista, sementara pelaku kebijakan yang sesungguhnya melenyapkan kesejahteraan rakyat berlindung di balik tirai politik. Bagai kucing-kucingan di malam kelam, kritikus berusaha mengungkapkan fakta yang tak terbantahkan, namun kebenaran yang menyayat hati terus dibelit dengan alasan yang kerap tak masuk akal.

Tak jarang, mereka yang berani membongkar lapisan ketidakadilan diserang dengan hukuman mati karakter. Identitas mereka dirobek-robek dalam sorotan media, dipermalukan di depan publik, hingga akhirnya terpojok dalam ketakutan. Ternyata, berani kritis adalah dosa yang tak terampuni di negeri ini.

Di panggung politik, kritikus adalah pemeran utama dalam sandiwara penghinaan. Mereka dihadapkan pada dilema tak berujung: ketika kritik diharamkan, kebenaran pun terpenjara. Ketika kebenaran dianggap sebagai penghinaan, maka berarti hinaanlah yang menemani kebijakan yang berkuasa.

Ironi dan sindiran tak henti-hentinya menyapa di balik layar politik. Kritik yang bertutur kisah keadilan dianggap sebagai makar, sementara pemakar kebijakan yang tak berpihak pada rakyat dipuja dengan tiupan trompet kekaguman. Terkadang, realitas seperti pantun tak berima, tak bisa kita bayangkan bahwa kritik dan penghinaan menjadi satu dalam pertunjukan absurditas politik.

Ketika penguasa merasa nyaman di atas takhta, mereka lupa akan janji-janji kampanye yang diucapkan dengan indahnya. Justru, mereka menemukan kenyamanan dalam memainkan simfoni manipulasi, menggambarkan kritikus sebagai para pengacau ketertiban. Seolah kebenaran adalah pemutar piringan hitam yang akan mengganggu ritme damai di negeri ini.

Terkadang, dalam pagelaran sinis politik, kritikus pun menyelipkan pesan-pesan berkelas, namun sayangnya mereka tak kunjung didengar oleh telinga tuli kekuasaan. Kritikus seperti peramu racun dengan kisah-kisah kebenaran yang beracun, dan tak ada antidot yang bisa menyembuhkan hati para pengawal kekuasaan yang buta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline