Dalam pagi yang penuh dusta ini, aku memelihara rinduku atasmu. Menyemai benih-benih senyuman yang dulu kau sisakan untukku. Memetiknya, kemudian menyimpannya dalam sebuah tembikar yang dulu kau hancurkan di hadapanku, kau retakkan atas dasar kedurjanaan yang aku lakukan terhadap rasa yang kau simpan dalam relung hatimu.
Aku menggila dalam putaran jarum jam yang seolah tak bisa berdamai dengan perasaanku. Ku ceburkan pikiranku dalam alunan ombaknya. Namun ternyata, terlalu hina raga ini. Berkat sumpahmu, alam tak menerimaku dalam wujud itu.
Jiwaku melayang-layang. Melewati tandusnya bukit Muria yang kejam. Alam yang terselimuti oleh jiwa-jiwa yang rakus oleh kemungkaran dan kemunafikan. Angin-angin kecil menggandengku, menuntunku dalam menyusuri dinginnya sabana Arghopiloso. Lalu, mendorongku ke dalam pekatnya malam di lembah Setan.
Aku tak kuasa. Batasku terlampaui. Jantungku benar-benar sudah kering. Tak nampak sama sekali daya atasnya, bahkan, sebentuk debu pun, tidak. Otakku tak dapat lagi ku gunakan. Tali-talinya telah putus kala kuperuntukkan mengikatkan namamu pada dindingnya.
Aku merindukanmu. Namun Tuhan menampiknya atas dasar rasa sakitmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H