Sudah menjadi kebiasaan saya di kelas untuk menceritakan kisah-kisah bijak agar siswa menumpahkan perhatiannya kepada materi yang akan saya bawakan. Faktor itulah mungkin yang membuat siswa selalu rindu dengan kehadiran saya meski itu diluar job mengajar saya.
Sehari sebelumnya memang saya telah memberikan wejangan dan petuah kepada siswa disela-sela materi pelajaran. Petuahnya terkait bagaimana harusnya kita sebagai manusia bersikap dan memperlakukan alam dengan hormat dan santun sehingga alam pun membalas dengan sikap yang sama.
Bagaimana posisi kita ketika bangun dari tidur malam, bagaimana cara ketika meninggalkan tempat tidur sampai bagaimana cara ketika memijakkan kaki di atas tanah ketika pertama turun dari rumah dan bepergian meninggalkan rumah.
Finger print yang merekam kehadiran di sekolah ditutup setiap jam 07.30 wita. Pagi itu, jam arlojiku sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 wita sementara perjalanan menuju sekolah membutuhkan sekitar 30 menit dari rumah, itu pun kalau kecepatan motor rata-rata 70 km/jam.
Hari ini sudah pasti telat. Tentu sebagai seorang guru sangat pantang bagi saya untuk terlambat masuk kerja. Tapi hari ini entah dimulai dari mana awal penyebab sampai saya, istri dan putra sulungku yang masih duduk dibangku TK berangkat kesiangan.
Pikiran sudah mulai kacau bersambut suara menggerutuh, kesal dalam hati entah ingin menyalahkan siapa. Mungkinkah si sulung yang terlambat mandi karena pagi-pagi masih nonton tivi. Untungnya putra keduaku untuk sementara waktu ikut tinggal sama neneknya sehingga terhindar dari kambing hitam keterlambatan hari ini.
Ataukah istri saya yang lalet memasak menyiapkan sarapan. Maklumlah istri saya sementara mengandung anak ketiga, usia kandungannya sudah lewat enam bulan sehingga semua pergerakannya ikut lambat. Atau mungkin saya sendiri yang terlalu asyik memainkan jari-jari pada keyboard laptop untuk sebuah tulisan sampai lupa ternyata matahari sudah meninggalkan peraduannya.
Segalanya serba tergesa-gesa. Bahkan seingat saya ritual baca doa bepergian luput dari perhatianku. Pikiranku dikuasai rasa was-was dan kesal. Tidak lagi peduli dan seakan lupa semua akan pesan-pesan orang tua sebelum meninggalkan rumah.
Saya yang menjadi joki motor harusnya memperbaiki dan menenangkan perasaan sebelum berangkat. Tapi di pagi itu fokus saya harus sampai di sekolah sebelum finger print ditutup, itu saja.
Rabu di bulan Desember 2015 kali itu memang cuacanya cerah namun sungguh muram bagi keluarga kami. Motor melaju dengan kencangnya, si sulung sengaja saya dudukkan di hadapan saya karena khawatir mengganggu keleluasaan ibunya yang sedang berbadan dua.
Blus hamilnya yang terurai sempat saya perhatikan dan saya tegur agar diangkat dan tidak menyentuh rantai motor. Helm istriku kemarinnya tertinggal di sekolahnya. Terpaksa kami menempuh jalan alternative untuk menghindari adanya razia di jalan utama. Jalan alternative sama mulusnya dengan jalan utama, yang membedakan hanya luas dan keramaiannya saja.