Pernahkah kita berfikir dan mempertanyakan, mengapa kita "dipestakan" ketika kita terlahir bahkan dipotongkan kambing padahal masa depannnya belum diketahui apakah menjadi emas masyarakat atau sampah masyarakat. Saat lulus kuliah, kita juga "dipestakan" padahal belum jelas gelar dan ijazah yang diperoleh akan mengantarkan kita memperoleh pekerjaan, mampu menciptakan lapangan kerja ataukah justru menambah angka pengangguran. Ketika lamaran kerja diterima, kita juga "dipestakan" sementara belum teruji akan menjadi pekerja yang baik ataukah menjadi seorang pemalas. Terlepas dari semua itu, "pesta" merupakan terjemahan dari bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan yang bisa jadi ceremonial itu adalah momen yang tidak akan terulang olehnya itu penting kiranya untuk diabadikan.
Pesta Budaya dan seluruh rangkaiannya adalah salah satu bentuk apresiasi rakyat atas keberhasilan setiap usaha termasuk ketika terpilih pemimpin baru mulai dari tingkat lokal sampai di tingkat nasional. Tumpah ruahnya masyarakat kejalanan serta rela meninggalkan pekerjaannya demi ingin menyaksikan langsung pemimpinnya merupakan contoh afirmasi masyarakat.
Serah-terima jabatan dan lepas-sambut kepemimpinan telah menjadi tradisi ketatanegaraan (konvensi). Dalam ritual seperti itu secara esensi terkandung makna filosofis bahwa adanya kebesaran hati dan kerelaan untuk meletakkan dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kepemimpinan baru, saling menghargai dan menghormati.
Harusnya dalam setiap peralihan kepemimpinan tidak perlu ada pertikaian dan gontok-gontokan. Kepribadian dan kearifan lokal budaya yang saling legowo perlu terus dipertahankan.
Keberhasilan pemerintahan tentunya sangat didukung oleh orang-orang yang bukan hanya profesional tetapi harus berkarakter prodigi. Disamping itu, sugesti rakyat setidaknya menjadi spirit tambahan yang dapat menjadi penyokong kekuatan pemerintahan.
Dalam analogi sepak bola, penonton adalah pemain ke tiga belas yang juga turut menentukan kemenangan sebuah tim. Espektasi rakyat yang menggelebung itu harus bisa dirawat dan dipertahankan secara konsisten dan jangan sampai terjadi sebaliknya, keberhasilan yang didambakan malah menuai ketidak percayaan rakyat.
Kemeriahan pelantikan dan penyambutan setiap pemimpin semoga bukan pertanda keangkuhan dan ego (Edging God Out). Marilah kita mengingatkan diri kita semua bahwa manusia sering membangun tempat berlindung dalam keangkuhan yang dipicu oleh ego dan parahnya jika menyangka bahwa itu adalah kekuatan.
Biasanya ini terjadi ketika seseorang mendapatkan posisi baru pada ranah apapun. Pada hal, ego hanyalah sebuah kelemahan yang akan menutupi diri dan menciptakan kesenjangan dalam hubungan antarmanusia. Bahkan menurut Arvan Pradiansyah menyebutkan bahwa ego itu akan mengobarkan semangat persaingan dan saling menjatuhkan.
Kita semua berharap bahwa pemimpin yang lahir dari rahim rakyat ini, bukanlah pemimpin yang menempatkan amanah sebagai job dengan berparadigma bahwa tujuan bekerja hanya sebatas menafkahi keluarga dan untuk bertahan hidup.
Orientasi materi akan menutup dan menyelubungi kepekaan sosialnya. Pemimpin yang berparadigma seperti ini akan bekerja keras tetapi menafikan kesehatannya sendiri apalagi peduli kepada orang lain, cenderung menjalankan rutinitas kerja yang menoton dan tidak akan pernah merasa berkecukupan dengan upah yang diperoleh.