Lihat ke Halaman Asli

Negative Snowball Effect Pasca Pandemi

Diperbarui: 9 Juni 2022   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi : www.freepik.com

Pandemi bagaikan bola salju yang terus bergulir, pandemi yang pada awalnya menimbulkan permasalahan di sektor Kesehatan semakin merambah ke berbagai sektor terutama sektor ekonomi. Menuju penghujung akhir era pandemi saat ini, beberapa persoalan ekonomi masih belum teratasi dan justru semakin besar bagaikan bola salju yang terus bergulir.

Bayang-bayang inflasi akibat pandemi seolah menjadi realita yang dihadapi negeri ini. Dikutip dari Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono menyampaikan inflasi Maret 2022 sebesar 0,66 persen pada Press Release BPS hari ini (1/4). Margo juga menyampaikan bahwa angka tersebut merupakan inflasi month-to-month tertinggi sejak Mei 2019. “Penyumbang inflasi Maret 2022 utamanya berasal dari komoditas cabai merah, bahan bakar rumah tangga, emas, perhiasan, dan minyak goreng,” ujar Margo.

Kelompok pengeluaran makanan, minuman dan tembakau memberikan andil terbesar pada inflasi Maret 2022, yaitu sebesar 0,38 persen, dengan inflasi sebesar 1,47 persen. Hal ini dipicu adanya kenaikan harga pada komoditas cabai merah, minyak goreng, dan telur ayam ras yang memiliki andil masing-masing sebesar 0,1 persen; 0,04 persen; dan 0,04 persen.

Beberapa persoalan ekonomi tersebut sebenarnya merupakan dampak dari pandemi yang sudah berjalan dari tahun 2019, namun belum mendapat perhatian dari pihak terkait dalam penanganannya. Perlu adanya kebijakan atau stimulus untuk mengatasi komoditas yang bermasalah, sehingga efek yang ditimbulkan tidak semakin besar atau disebut “Snowball Effect”

Tragedi kenaikan dan kelangkaan harga minyak goreng beberapa waktu lalu harus menjadi bahan evaluasi bagi pihak terkait, bahwa sebenarnya persoalan pandemi belum benar-benar usai. Saat ini persoalan yang diprediksi akan menjadi tragedi yaitu mengenai komoditi telur ayam ras.

Hal tersebut disebabkan selama masa pandemi daya beli masyarakat turun sehingga harga telur juga ikut turun karena rendahnya daya beli, namun disisi lain para peternak mengalami kerugian selain dari rendahnya harga jual, namun juga tingginya biaya produksi dikalangan peternak.

Tingginya biaya produksi disebabkan tingginya harga jagung dan terkendalanya jalur distribusi selama kebijakan PPKM pada masa pandemi, sehingga saat ini banyak pengusaha peternak ayam petelur gulung tikar karena antara harga jual dengan biaya produksi yang sangat merugikan peternak.

Banyaknya para peternak ayam petelur yang gulung tikar dan ditambah tingginya harga pakan ayam dikalangan peternak ,berimbas pada naiknya harga telur ayam di pasaran, dikarenakan supply dari kalangan peternak yang berkurang. Hal ini harus menjadi perhatian dari pemerintah sehingga kasus kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng tidak terjadi lagi pada komoditi lainnya seperti komoditi telur ayam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline