Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fauriza Nur Advani

Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Berbincang Dengan Agie, Seorang Pedagang Barang Antik di Pasar Cikapundung

Diperbarui: 27 Juni 2024   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toko Agie, Pasar antik Cikapundung (foto pribadi)

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasannya pada saat ini kita memiliki akses
yang sangat luas akan hal-hal yang ada di dunia ini. Mulai dari transaksi jual beli yang pada hari ini dapat kita lakukan melalui aplikasi online sehingga kita pun tak harus pergi jauh-jauh keluar dari rumah. Pun dalam mendengarkan musik, kita tak harus lagi memiliki album fisik karena lagu-lagu pada saat ini tersedia begitu banyak dalam bentuk digital di aplikasi-aplikasi seperti Youtube, Spotify, Joox, dan aplikasi-aplikasi lainnya. Kendati demikian, nyatanya hal tersebut tidak bisa begitu saja menggantikan hal-hal yang telah ada sebelumnya. Album-album musik kaset pita yang terkesan sudah kuno dan jadul pun nyatanya masih banyak penggemarnya
hingga hari ini. Di Kota Bandung sendiri, terdapat cukup banyak toko barang antik yang
keberadaannya masih bertahan sampai saat ini.

 Pada hari Jumat, 14 Juni tahun 2024 saya berkesempatan berbincang dengan salah
seorang penjual barang-barang antik yang berada di Pasar Antik Cikapundung, Kota Bandung. Akan tetapi, sebelumnya saya sempat memutari terlebih dahulu Pasar Cikapundung. Di sana ada berbagai macam toko dan barang yang di jual di sana. Mulai dari kamera jadul, mainan- mainan dan diorama jadul sampai guci, vas, lukisan, perangko, stemple, uang lama, hingga alat tulis kantor antik yang sudah berusia puluhan tahun. Ketika saya melihat kamera jadul, saya sempat mengenali beberapa jenis kameranya. Diantaranya, saya melihat ada kamera Canon Demi EE-17 yang merupakan kamera dengan system half frame yang mana kamera tersebut dapat menghemat roll film. Selain itu saya melihat kamera Twin Lens Reflex yang diproduksi oleh perusahaan Rolleiflex yang merupakan kamera buatan Jerman. Selain itu di sebuah sudut pojok dari pasar ini, aku melihat beberapa foto yang dipajang. Saya rasa sepertinya itu merupakan bekas dari pameran foto. Adapun foto-foto tersebut merupakan foto yang sangat menarik dan yang lebih membuat kagum adalah, foto tersebut merupakan foto yang bertemakan dukungan terhadap Palestina. Sepertinya, perbincangan mengenai foto dan kamera ini haruslah disudahi, sebab ini terlalu betele-tele dan bukanlah topik utama pada perjalananku di Pasar Antik Cikapundung pada hari itu. 

Kembali pada pernyataan sebelumnya, bahwa saya berkenalan dengan seorang
pedagang. Adapun pedagang tersebut diketahui bernama Agie. Di tokonya terdapat berbagai
macam barang, akan tetapi kebanyakan barang yang ia jual adalah kaset pita. Agie adalah
seorang yang ramah, ia mempersilahkanku untuk memutar beberapa kaset sambil berbincang-bincang. Pada hari itu aku memutar kaset Mocca, enak sekali suaranya. Lagu pertama yang memutar saat itu adalah lagu Once Upon a Time.

kaset pita di Toko Agie, Pasar Antik Cikapundung (foto pribadi)

Suasana saat itu begitu syahdu dan tenang, padahal saat itu sang mentari sedang berada di atas. Yang lebih mengejutkan lagi, hari itu aku bertemu temanku disana. Sungguh sebuah pertemuan yang sangat tidak disangka-sangka. Temanku pada saat itu hendak mencari
kaset dan membetulkan Walkman-nya yang rusak. Menurutnya, bagian Walkman yang rusak adalah bagian pemutar kasetnya yang biasa berputar begitu tombol play pada Walkman dimainkan. Sambil asyik melihat-lihat kaset aku akhirnya terpikirkan untuk menuliskan mengenai hari ini untuk saya tuliskan dalam mengerjakan tugas UAS mata kuliah Penulisan Populer. Sedang temanku lanjut melihat-lihat kaset, aku memutuskan mengajak berbincang dengan Agie. Ia menerima permintaanku untuk mengajak mengobrol. Bahkan, ia menceritakan
banyak hal, mulai dari bagaimana ia mulai berjualan sampai apa yang membuatnya bertahan. 

Menurut penuturannya, Agie telah berjualan barang antik sejak tahun 2012 dikala ia
sedang menganggur. Menurutnya, pada saat itu tidak terlalu banyak orang yang meminati
barang-barang antik sehingga pada saat itu sepanjang hari, Agie hanya menghabiskan waktu berdiam diri di toko sambil menjaga barangnya tanpa melayani pembeli dengan beberapa pedagang lainnya. Alasannya tak berhenti untuk terus berjualan barang antik adalah karena kecintaannya terhadap barang-barang yang ia jual. Agie sudah sejak lama menggemari musik- musik dan seringkali mengoleksi album-album kaset pita sedari ia kecil. 

Di sela-sela berjualan, Agie juga kerap berkumpul bersama teman-teman di sekitaran
Cikapundung untuk melakukan kegiatan berdiskusi. Pada tahun-tahun awal berjualan, Agie kerap kali menutup toko tengah malam karena kiosnya selalu ia gunakan sebagai tempat untuk menongkrong dan berdiskusi mengenai musik, lagu, dan topik-topik lainnya. Selain itu, Agie juga bergabung pada komunitas musik dan hal inilah yang membuat tokonya mulai ramai, ditambah ketika masuk ke tahun 2014, menurutnya pada saat itu mulai ramai cafe atau tempat menongkrong yang menggunakan konsep vintage yang mana otomatis membuat barang- barang antik menjadi barang yang kembali dicari. Sampai akhirnya media sosial ramai digunakan dimana-mana, hal ini juga membuka peluang baru untuk berjualan secara online. 

Selain itu, Agie mengatakan bahwa selama ia berjualan barang antik, banyak teman- temannya yang berbisnis di bidang yang sama mengalami kebangkrutan karena kebingungan
mencari pasar. Karenanya, ia berpesan agar bagi siapa saja yang ingin bergelut di bidang yang sama haruslah memiliki kecintaan dan hobi terhadap barangnya, sebab jika tidak maka akan sulit bertahan. Selain itu, ia juga menyarankan apabila ingin berkecimpung di bidang ini, kita mesti memiliki banyak kenalan karena semakin banyak kenalam, semakin banyak orang yang akan datang dan berkunjung ke toko dan juga memudahkan dalam mendapatkan koneksi baik
untuk memasok barang maupun pelanggan tetap. Agie juga bercerita mengenai
pengalamannya bermitra dengan beberapa orang dari luar negeri. Agie pernah bermitra
dengan orang dari Uni Emirat Arab, yang sering memborong kaset pita dari berbagai macam musisi yang sayangnya saat ini agak terkendala oleh urusan bea cukai yang membuat pajak barang sangat mahal. Selain itu Agie juga bermitra dengan orang Jepang yang suka mencari kasset pita yang nantinya dijual lagi di Jepang yang dalam hal ini, Agie bertugas mencari kaset- kaset melalui kenalan dan koneksinya. 

Percakapan berjalan cukup lama dan menyenangkan, banyak hal menarik yang bisa saya dapatkan dalam perbincangan bersama Agie, bagaimana dengan sebuah hobi, selama kita bisa memanfaatkan dan membaca peluang kita dapat menjadikannya sekaligus sebagai sebuah mata pencaharian. Selain itu, saya juga memutar kembali beberapa album kaset seperti album kaset A-ha dan juga The Cangcuters. Kemudian ketika hari telah menjelang sore, aku dan temanku yang tadi bertemu di toko kaset milik Agie memutuskan untuk pergi pulang bersamamenuju Jatinangor pada sekitar pukul setengah lima sore. Demikian sekelumit perjalanan yang saya jalani pada hari itu yang tertanggal 14 Juni tahun 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline