Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Rusdiana

Praktisi Pendidikan, Peneliti, Pengabdian Kepada Masyarakat-Pendiri Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Cipadung Bandung- Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat

Hukum Toxic vs Pengembangan Talenta Muda dalam Menyonsong Bonus Demografi 2030

Diperbarui: 26 Mei 2024   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: IDN Times. tersedia dalam idntimes.com (dimodifikasi)

Hukum Toxic Vs. Pengembangan Talenta Muda dalam Menyonsong Bonus Demografi 2030

 Mengatasi perilaku 'toxic' adalah langkah krusial untuk menciptakan yang positif dan produktif. Bagun budaya peduli, konsisten, dan berkelanjutan. Syrik dilarang oleh Agama.

Oleh: Ahmad Rusdiana

Indonesia akan segera menyongsong era bonus demografi pada tahun 2030, di mana jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, sangat penting bagi negara untuk memastikan bahwa generasi muda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bersaing di pasar global.

Salah satu tantangan utama yang perlu diatasi adalah perilaku 'toxic', seorang ahli tasawuf menyebutnya Syirik (Abah, 2024:25/05), di lingkungan pendidikan yang dapat menghambat pengembangan talenta muda. 

Berdasarkan konsep dari Lillian Glass dalam bukunya "Toxic People" (1995), ada tiga hukum toxic yang relevan dalam konteks ini: Indifference, Inconsistency, dan Complacency. 

Tulisan ini akan membahas bagaimana ketiga hukum toxic ini dapat mempengaruhi pengembangan talenta muda di Indonesia dan bagaimana mengatasinya untuk memastikan bangsa siap menyongsong era bonus demografi. Yu kita breakdown, satu persatu:

Pertama: Indifference (Ketidakpedulian); Ketidakpedulian di lingkungan pendidikan muncul ketika pendidik atau pemimpin lembaga tidak menunjukkan perhatian yang cukup terhadap perkembangan siswa atau rekan kerjanya. 

Dalam konteks pengembangan talenta muda, ketidakpedulian ini dapat menyebabkan siswa merasa tidak dihargai dan tidak termotivasi untuk belajar. Ketika guru tidak peduli dengan perkembangan peserta didik, siswa akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bimbingan yang mereka butuhkan untuk mengembangkan keterampilan dan potensi mereka. 

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi lembaga pendidikan untuk membangun budaya peduli dan empati. Guru harus dilatih untuk menjadi mentor yang mendukung dan mendorong siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka. Selain itu, institusi harus mengimplementasikan kebijakan yang mendorong keterlibatan aktif guru dalam perkembangan akademik dan personal siswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline