Kekerasan di lingkungan pendidikan merupakan masalah serius yang masih sering terjadi, meskipun jarang terungkap ke permukaan. Salah satu kasus yang baru-baru ini mencuat adalah kekerasan terhadap seorang santri di Kabupaten Aceh Barat, Aceh. Santri tersebut melaporkan tindakan penyiraman air cabai yang diduga dilakukan oleh NN, istri pimpinan pondok pesantren, ke Polres Aceh Barat pada 1 Oktober 2024. Kejadian ini membuka luka lama tentang bagaimana kekerasan di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan nilai-nilai luhur, masih terjadi.
Pondok pesantren, sebagai salah satu institusi pendidikan berbasis agama yang memiliki peran penting dalam membangun moralitas generasi muda, seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kelembutan, dan kasih sayang. Namun, kasus seperti ini mengungkap sisi gelap yang kerap tersembunyi di balik tembok pesantren. Ketika kekerasan terjadi di dalam lembaga pendidikan, terutama yang melibatkan anak-anak, hal ini tidak hanya melanggar hak-hak anak, tetapi juga menciderai amanah yang diemban lembaga tersebut sebagai tempat pembelajaran dan pembentukan karakter.
Kekerasan semacam ini mengisyaratkan adanya kegagalan dalam sistem pengawasan dan perlindungan anak di dalam lembaga pendidikan. Kasus di Aceh Barat ini memicu pertanyaan besar tentang sejauh mana perlindungan anak di pondok pesantren dilakukan, serta bagaimana regulasi dan hukum yang ada dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi santri.
Kekerasan Berkedok Disiplin
Aksi kekerasan terhadap santri, meskipun dianggap sebagai bentuk sanksi atas pelanggaran disiplin, seperti merokok di lingkungan pesantren, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang pendidikan maupun hukum. Penggunaan kekerasan fisik, termasuk penyiraman air cabai dan pencukuran rambut, sama sekali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang mendidik dengan kasih sayang, penghormatan terhadap martabat individu, dan perlindungan anak. Justru tindakan semacam itu hanya menciptakan rasa takut dan dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam bagi korban.
Dalam konteks pendidikan, pendekatan sanksi atau hukuman seharusnya tidak didasarkan pada kekerasan fisik, melainkan lebih pada upaya korektif yang mendidik, memberikan pemahaman, serta membantu anak untuk menyadari kesalahannya secara positif. Sanksi fisik hanya akan memperburuk kondisi psikologis anak, menurunkan rasa percaya diri, dan memperbesar kemungkinan anak merespon dengan sikap memberontak atau merasa semakin tidak berharga.
Dari sisi hukum, tindakan yang dilakukan oleh NN, jika terbukti bersalah, melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Pasal 76.c jo Pasal 80 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat membawa konsekuensi hukum yang serius bagi pelakunya. UU Perlindungan Anak secara tegas melindungi hak-hak anak dari kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Kekerasan semacam ini tidak hanya merusak mental korban, tetapi juga menghancurkan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan itu sendiri. Santri yang seharusnya mendapatkan lingkungan belajar yang kondusif dan aman justru menghadapi ancaman kekerasan. Trauma yang ditimbulkan oleh kekerasan fisik semacam ini dapat berjangka panjang, mengganggu perkembangan mental dan emosional korban, serta menghambat proses pembelajaran mereka.
Pada akhirnya, sistem pendidikan harus mendorong pendekatan yang penuh empati, disiplin yang mendidik tanpa kekerasan, serta perlindungan yang kuat terhadap hak-hak anak, terutama di lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki tanggung jawab moral yang besar dalam membina karakter anak-anak.
Mencemari Nama Baik Pesantren