Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Faizal Abidin

Mahasiswa dan Guru PAUD

Menelan Pahit Menuai Manis: Menerima Nasihat dengan Lapang Dada

Diperbarui: 15 Maret 2024   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi: Sreenshot di Kitab Ayyuhal Walad (PDF)

Nasihat, serupa dengan obat pahit yang memiliki sifat menyembuhkan. Memberikannya terkadang terasa mudah, namun melangkah untuk menerimanya sering kali terasa berat. Sebab, nasihat sering kali bertentangan dengan hawa nafsu yang menggoda. Essay ini bertujuan untuk menggali pentingnya sikap terbuka dalam menerima nasihat, sebagaimana menjadi kunci untuk meraih keberkahan di dunia dan akhirat. 

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendapati diri kita terjebak dalam dilema antara keinginan dan kebenaran. Meskipun terkadang sulit untuk menerima nasihat yang disampaikan, terbukanya hati untuk menerima nasihat dari orang lain adalah langkah awal menuju kesempurnaan diri dan penerimaan keberkahan dari Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan diuraikan secara mendalam mengenai pentingnya sikap terbuka dalam menerima nasihat, serta dampak positifnya terhadap kehidupan manusia dalam meraih keberkahan di dunia dan akhirat.

Pembiakan Penyakit Hati: Menolak Nasihat 

Nasihat yang tidak diindahkan dapat diibaratkan sebagai penyakit yang dibiarkan berkembang tanpa penanganan. Orang yang sangat tertarik pada ilmu dunia sering kali menjadi terlena. Mereka cenderung menganggap bahwa pendidikan formal dan pencapaian jabatan yang mapan adalah jaminan utama untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan. 

Kelompok ini sering kali terperangkap dalam pemikiran filosofis yang menekankan teori tanpa mengimplementasikan ilmu dalam prakteknya. Mereka kurang memahami pentingnya mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki untuk memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai akibatnya, mereka mungkin gagal mengenali nilai sejati dari pengetahuan yang mereka peroleh dan terjebak dalam siklus pencarian materi dan prestise, tanpa memperhatikan aspek spiritual dan nilai-nilai moral yang esensial untuk mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan.

Padahal, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dalam hadis yang sahih mengingatkan, 

   أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، عَالِمٌ لَا يَنْفَعُهُ اللّٰهُ بِعِلْمِهِ  حديث رواية الطبراني

Artinya: "Orang yang paling sedih seksaannya pada hari kiamat nanti ialah seorang alim yang tidak memberi manfaat akan dia oleh Allah taala dengan ilmunya." (HR. At-Tabarani).

Hadis ini menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diikuti dengan amal yang baik akan menjadi beban di hari akhirat. Artinya, hanya memiliki pengetahuan tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sia-sia di hadapan Allah. Rasulullah mengajarkan bahwa pentingnya tidak hanya mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga menggunakannya untuk melakukan amal yang baik, karena itulah yang benar-benar akan membawa keberkahan dan manfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kisah Teladan: Ketika Ilmu Berubah Tak Berarti 

Imam Junaidi al-Baghdadi, seorang sufi besar dari abad ke-3 Hijriah, memberikan penegasan yang mendalam. Beliau pernah mengalami pengalaman di mana beliau bertemu dengan seseorang dalam mimpi. Orang tersebut bertanya tentang keadaan beliau setelah meninggal dunia. Imam Junaidi menjawab dengan tegas, "Segala pengetahuan yang dimiliki, baik yang bersifat lahir maupun batin, telah lenyap. Yang tersisa hanyalah beberapa rakaat shalat malam yang sempat kami lakukan." Kisah ini memberikan gambaran yang kuat bahwa di akhirat, amal perbuatan yang baik menjadi penentu utama nasib seseorang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline