Oleh : Ahmad Sastra
Beberapa pekan ini rentetatan kasus kekerasan yang melibatkan siswa membuat hati miris dan memprihatinkan. Sebab kekerasan di kalangan siswa bukan sekedar kekerasan biasa, namun sudah masuk kategori kriminalitas. Mulai dari persekusi, bullying, pengeroyokan hingga tawuran yang menelan korban jiwa.
Ada banyak faktor pembentuk adab dan peradaban suatu bangsa. Mulai dari sistem penddiikan negara, masyarakat, media hingga keluarga. Keluarga hanyalah bagian kecil dari sistem besar yang namanya keluarga. Penerapan sistem nilai pendidikan di negara sangat mempengaruhi sistem nilai di keluarga. Meskipun keluarga tetaplah memiliki tugas penting bagi pembentukan kepribadian anak.
Pemahaman, kesadaran dan komitmen terhadap nilai-nilai religius sangat berpengaruh terhadap keutuhan keluarga. Nilai religius menjadi semacam pondasi bagi kualitas keberlangsungan institusi keluarga. Keluarga adalah sebuah lembaga sosial yang akan diwarnai oleh dinamika, baik duka maupun suka. Berbagai persoalan sosial, psikologis, ekonomi dan pendidikan akan dihadapi oleh setiap keluarga.
Penerapan nilai-nilai kebajikan akan menjadi pengalaman anggota keluarga. Pertumbuhan kepribadian orang tua dan anak sangat bergantung kepada pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pandangan hidup orang tuanya, sopan santun mereka dalam pergaulan, baik dengan anggota keluarga, maupun dengan tetangga, atau masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam pribadinya.
Demikian pula sikap mereka pada agama, ketekunan menjalankan ibadah dan kepatuhan terhadap ketentuan agama, serta pelaksanaan nilai-nilai agama dalam kehidupannya sehari-hari, juga akan menjadi faktor pembinaan bagi anak secara langsung maupun tidak langsung. Disamping itu semua, yang tidak kalah penting adalah cara orang tua memperlakukan anak-anak mereka, apakah ada pengertian dan kasih sayang yang wajar dan sehat, ataukah tanpa pengertian dan jauh dari kasih sayang.
Nilai-nilai religius akan menjadi pilar bagi paradigma berkeluarga. Berkeluarga dalam perspektif paradigma religius akan melahirkan sebuah visi kemuliaan. Segala permasalahan dipandang dalam konteks yang positif. Sebab paradigma religius, berkeluarga bukan sekedar ikatan sosial, melainkan sebagai bagian dari ibadah. Itulah mengapa dalam Islam, pernikahan disebut sebagai ikatan yang kokoh. Krisis religiusitas akan menjadikan keluarga sebagai ikatan yang rapuh yang mudah patah hanya karena ada masalah kecil.
Sistem nilai sekuleristik yang diadopsi negara sangat memberikan pengaruh terhadap wajah kehidupan keluarga. Gaya hidup yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama ditayang secara masif oleh media televisi dan media sosial akan memberikan pengaruh terhadap anak. Ketika pemerintah tidak peduli terhadap media, maka sama saja sedang merusak moral anak bangsa.
Sistem nilai yang menjadi ikatan keluarga akan melahirkan potret keluarga tersebut. Kekuatan ikatan suami istri berbasis nilai religius akan menjadi energi positif bagi proses pendidikan anak. Sebaliknya, sistem nilai sekuleristik pada keluarga akan melahirkan potret keluarga yang acuh terhadap norma dan nilai etis agama.
Secara normative, misi pendidikan Islam dalam keluarga adalah untuk membentuk generasi yang menyembah Allah dan takut kepadaNya dalam segala situasi. Menjadi orang yang senantiasa beribadah kepada Allah juga berarti ketundukan yang mutlak kepada Allah. Dari sinilah akan lahir keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Namun demikian, faktanya banyak keluarga gagal dan mengalami disfungsi. Keluarga tak ubahnya hanya berfungsi sebagai terminal. Para anggota keluarga datang dan pergi begitu saja. Tidak ada komunikasi dan kehangatan hubungan diantara anggota keluarga itu. Tidak ada suasana yang menyenangkan diantara mereka. Tidak ada ikatan sistem nilai religius yang kuat.