Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Wansa Al faiz

Pengamat Sosial Fenomena

Menelaah Peristiwa Suliki Dan Dinamika Organisasi Islam Di Masa Hindia Belanda.

Diperbarui: 19 Januari 2025   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kyai H. Ahmad Dahlan Dan Logo Simbol Organisasi Muhammadiyah - Indozone Fadami.


Politik Islam dalam Historiografi: Menelaah Peristiwa Suliki Dan Dinamika Organisasi Islam di Masa Hindia Belanda.

Islam - Tempo.Id

Pada awal abad ke-20, perkembangan organisasi Islam di Hindia Belanda menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial. Salah satu peristiwa penting yang menggambarkan dinamika ini adalah "Peristiwa Suliki" yang terjadi di Payakumbuh. Peristiwa ini menjadi cerminan bagaimana organisasi Islam, khususnya Muhammadiyah, harus berhadapan dengan kebijakan politik Hindia Belanda yang restriktif terhadap gerakan Islam.

Dalam konteks historiografi Islam di Hindia Belanda, seperti yang dipaparkan oleh H. Aqib Suminto dalam bukunya "Politik Islam Hindia Belanda", pemerintah kolonial menerapkan kebijakan pengawasan ketat terhadap aktivitas organisasi-organisasi Islam. Hal ini terlihat jelas dalam Peristiwa Suliki, di mana rapat Muhammadiyah di Payakumbuh harus mengambil keputusan untuk mengirimkan kawat ke pimpinan pusat di Yogyakarta demi meminta perlindungan pemerintah.

Situasi serupa juga terjadi di Sekayu pada awal bulan Syawal tahun 1926. Bertepatan dengan kedatangan tokoh pimpinan pusat Muhammadiyah dari Yogyakarta, sebuah sekolah Muhammadiyah ditutup oleh Kontrolir (pejabat administratif Belanda). Pengurus sementara Muhammadiyah Sekayu segera mengirimkan telegram ke pimpinan pusat untuk melaporkan penutupan tersebut.

Karel Steenbrink, dalam bukunya "Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950", menjelaskan bahwa kebijakan kolonial Belanda terhadap Islam didasari oleh kekhawatiran akan munculnya gerakan politik yang berbasis agama. Organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, yang awalnya fokus pada pendidikan dan pembaruan sosial, tidak luput dari pengawasan ketat pemerintah kolonial.

Deliar Noer dalam "Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942" menguraikan bahwa kedudukan organisasi Islam pada masa itu berada dalam posisi yang kompleks. Di satu sisi, mereka berupaya memajukan pendidikan dan kesejahteraan umat, namun di sisi lain harus menghadapi kebijakan politik Hindia Belanda yang membatasi ruang gerak mereka.

Peristiwa Suliki dan penutupan sekolah di Sekayu menunjukkan pola umum politik Islam Hindia Belanda yang diterapkan terhadap organisasi-organisasi Islam. Harry J. Benda dalam "The Crescent and the Rising Sun" menganalisis bahwa kebijakan ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan kolonial dan aspirasi umat Islam untuk memajukan pendidikan dan organisasi mereka.

Politik Islam dalam konteks historiografi masa Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari dinamika organisasi-organisasi Islam dalam menghadapi kebijakan kolonial. Peristiwa-peristiwa seperti kasus Suliki menjadi bukti bagaimana organisasi Islam harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah tekanan politik kolonial. Perjuangan ini pada akhirnya turut membentuk karakter pergerakan Islam di Indonesia yang terus berlanjut hingga masa kemerdekaan.

Meskipun menghadapi berbagai pembatasan, organisasi-organisasi Islam tetap mampu memainkan peran penting dalam membangun fondasi pendidikan dan kesadaran sosial-politik masyarakat. Pengalaman historis ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana organisasi Islam dapat bertahan dan berkembang dalam situasi politik yang tidak menguntungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline