Caping 6 : Analisis, 375 & 378. (Membaca Goenawan Mohammad).
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz
Sebelum, komentar dari saya, saya mengutip halaman "Catatan Pinggir". (Caping) dari buku "Caping 6" sebagai berikut :
ANALISIS
Lin Che Wei menganalisis angka-angka,
I Made Pastika menelaah jejak.
SEORANG analis membutuhkan sebuah ruang yang hening. Bukan saja hening, juga tak terjangkau. Ia memang bukan rahib. Tapi menganalisis adalah kesendirian yang mirip meditasi. Hanya dia yang tahu adakah di dalamnya berlangsung pembersihan diri dari nafsu menghantam, dari semangat untuk memaafkan, dari praduga dan prasangka. Hal-hal itu---sejumlah keributan tersendiri---dengan mudah akan mengarahkan proses analisis ke sebuah tujuan. Setiap analis yang baik tahu bahwa sebuah tujuan yang telah diletakkan bagaikan satu titik yang harus dituju akan mengarahkan proses analisis ke titik itu: berpikir secara teleologis adalah awal sebuah analisis yang selingkuh. Sebab itu, untuk bersih dan lurus, analisis harus bermula dari reduksi: aku meletakkan dalam kurung segala hal-ihwal yang akan menggangguku sebagai subyek yang sadar. Tapi kemiripan antara meditasi dan analisis berakhir di situ. Antara keduanya ada perbedaan yang radikal. Meditasi sepenuhnya mengosongkan diri untuk menerima, sedangkan analisis melangkah maju, ulet, setahap demi setahap. Meditasi membuka diri secara langsung untuk misteri, untuk meresapkan ihwal yang paling remang sekalipun. Sebaliknya analisis bersiaga. Ia menghadapi apa yang terlontar di hadapan manusia---kata lain dari "problem"---dan di hadapan itu, ia mengidentifikasi, menyoroti, mencincang-urai. Dalam arti tertentu, analisis mengubah dunia. Ia melahirkan ilmu modern: kimia yang mengurai anasir alam, kedokteran yang membongkar dan mengerti mekanisme tubuh, matematika yang melepaskan kuantitas dari kualitas. Alam kehilangan auranya yang magis ketika di abad ke-9 Yuhanna bin Masawayh memulai sebuah analisis: ia melihat badan manusia dengan dingin; dipelajarinya badan itu, ditemukannya anatominya---dengan membedah mayat monyet. Seabad kemudian, Al-Razi menulis sebuah uraian tentang cacar air dan campak. Takhayul pun mundur. Yang menakjubkan telah bisa di-"ketahui". Jika sejarah pemikiran ditulis dari Bagdad, "hilangnya pesona dunia" yang disebut Weber sebagai ciri modernitas mungkin bisa ditemukan di sana, dan semangat analitis pertama mungkin bisa disimpulkan dari Ibn Ahmad al-Bairuni (973-1048), ilmuwan besar yang menghendaki "metode logis" untuk memisahkan "fantasi" dari ilmu. Ia mengatakan: "Kita harus membersihkan pikiran kita... dari semua hal yang membutakan orang pada kebenaran---adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, niat berpengaruh." Dan jika sejarah pemikiran ditulis dari Eropa, hasil analisis pertama yang termasyhur barangkali dimulai ketika Descartes memisahkan res cogitans dari res extensa, yakin bahwa antara subyek yang berpikir dan dunia (termasuk tubuh sendiri) di luar subyek itu ada beda dan batas yang tegas. Yang terkadang tak disebutkan adalah bahwa dalam pemikiran analitis ilmu itu ada kehendak untuk mengatasi persoalan dasar manusia: bagaimana manusia bisa melihat hal-ihwal dari sebuah pandangan yang mutlak, seakan-akan dari langit yang mahaluas, seperti ketika Adam masih di surga. Dengan kata lain, bagaimana res extensa tak mempengaruhi res cogitans. Atau, dalam bahasa Al-Bairuni, bagaimana seseorang bisa sepenuhnya bebas dari "adat lama, semangat kelompok, gairah pribadi". Begitu banyak orang, begitu banyak analis, hadir dengan perspektif masing-masing, yang saling menyusup bagaikan sebuah labirin. Dengan dituntun benang apa gerangan manusia bisa keluar dari labirin itu? Descartes percaya akan metode matematis. Al-Bairuni metode "logis" seperti Socrates. Tapi mungkin kini orang terpaksa melihat ke arah yang lain. Inilah masa ketika kebenaran dilecut untuk menjadi sesuatu yang aktif, yang tak dengan sendirinya diterima oleh siapa saja dan kapan saja. Tak ada lagi kesimpulan yang tak ditawarkan, dirundingkan, dan kemudian diputuskan. Tak ada konklusi yang di luar proses politik, di luar kegigihan pengaruh dan mempengaruhi dan desak-mendesak---dengan kata lain, di luar suara gaduh mereka yang mengepalkan tinju dan berseru-seru. Sebab di luar sana orang ramai. Di luar sana ada bagian masyarakat yang prihatin atau berharap, yang terhimpun atau menghimpun diri di dalam sebuah kekuatan. Antara ruang hening sang analis dan keriuhan itu tak ada keterkaitan, tapi tak jarang selalu ada sebuah jalan yang tersembunyi. Apalagi kita tahu analisis adalah bagian dari ilmu dan pemikiran modern, dan seseorang pernah mengatakan bahwa ilmu itu adalah scientia activa et operative, ilmu yang agresif. Sudah di abad ke-17 Descartes (1596-1650) menghendaki filsafat yang praktis, yang akan "membuat kita jadi tuan dan pemilik alam". Dari dorongan itulah ilmu modern memang mengubah dunia, tapi benarkah ia mengubahnya sendirian? Tidak, Anda akan menjawab. Orang ramai itu penting. Hanya ada sebuah caveat, sepotong catatan: kita kini hidup dalam kehausan nilai. Lembaga publik gagal memutuskan mana yang jahat dan yang tak jahat, dan orang pun kembali bersandar pada acuan moral yang pribadi. Bukan "melanggar hukum" yang dipertaruhkan, melainkan "keji" dan "tak keji", "adil" dan "tak adil". Di situ politik pun menjadi passi, problem seakan-akan jadi soal to be or not to be.... Hati gemuruh, panas, dan analisis berhenti Apalagi tiap kali di sekitar sang analis hadir pelbagai anasir, juga hal-hal yang hendak dihindari Al-Bairuni: adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, niat berpengaruh. Res extensa berkecamuk. Politik pun mulai, advokasi berangkat. Dan sang analis? Bagi saya, ia tetap membutuhkan sebuah ruang yang hening, yang tak terjangkau. Ada selalu saat ketika kita tahu: politik dan orang ramai bukanlah segala-galanya.
Tempo, 9 Maret 2003
Komentar, Saya :