Tulisan merupakan tindak lanjut dari hasil wawancara saya dengan Radio Elshinta baru-baru ini. Artikel ini juga merupakan respon atas kasus yang menimpa seorang "artis" yang diduga melakukan praktek prostitusi online dan ditangkap oleh Polda Jatim, yang kemudian dibebaskan karena tidak punya dasar hukum yang kuat atas dugaan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak kepolisian. Namun akibat pemberitaan yang bombastis, publik telah menghakimi "artis" tersebut sehingga seolah-olah langkah yang sudah ditempuh oleh polisi sudah benar dan tepat. Apalagi Polda Jatim juga mengungkapkan ada 45 artis lain yang terlibat dalam prostitusi online yang akan diungkap dan diproses oleh penyidik.
Tulisan ingin menempatkan persoalan prostitusi online dalam kacamata hukum pidana sehingga dapat mendudukkan masalah ini secara proporsional dan objektif, tanpa menghakimi perbuatan yang dilakukan oleh sejumlah "artis" dalam prostitusi online dan tindakan kepolisian dalam menangani masalah ini.
Dalam hukum pidana umum, persoalan prostitusi diatur hanya dalam 1 pasal, yaitu Pasal 298 KUHP. Pasal ini melarang siapa saja yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasan dan mengambil keuntungan atas kegiatan cabul yang dilakukan oleh orang lain dan acamanan pidananya maksimum 1 tahun 4 bulan. Pasal ini ditafsirkan oleh ahli hukum pidana Indonesia sebagai pasal yang mengancam pidana para germo, mucikari atau pemilik dan atau pengelola rumah berdir.
Dengan demikian pasal ini melarang segala bentuk dan praktek kegiatan melacurkan orang lain dan mendapatkan keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian. Dalam beberapa putusan pengadilan, tidak hanya mucikari yang pernah dihukum seseorang yang menyewakan kamarnya untuk kegiatan prostitusi pun pernah dihukum oleh pengadilan meskipun orang tersebut bukan mucikari atau germo, namun mendapatkan keuntungan atas sebuah perbuatan cabul yang dilakukan oleh prostitusi dengan pelanggan.
Sebuah perbuatan prostitusi antar si pelacur (pekerja seks komersial) dengan pelanggannya bukanlah tindak pidana menurut KUHP Indonesia, sehingga segala bentuk kegiatan prostitusi yang dikelola atau di-manage sendiri oleh dirinya dengan pelanggannya tidak bisa dikategorikan sebagai delik yang diancam dengan hukuman termasuk juga pelacuran online yang dikelolanya sendiri dengan pelanggan/pelanggan-pelanggannya.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu UU No. 11 tahun 2008 pun tidak memberikan ancaman pidana atas sebuah tindakan pelacuran online yang dikelola oleh si prostitusi kepada pelanggan-pelangganya.
Pasal 27 ayat (1) UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Informasi elektronik yang melanggar kesusilaan menurut tafsir dari ilmuwan hukum pidana diantaranya adalah berupa gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin. Objek perbuatan kesusilaan ini pun harus disebarluaskan ke publik melalui media elektronik (email, media sosial, atau layanan pesan singkat). Jika mengacu pada pasal ini, jika perbuatan tersebut sekalipun berisi pesan untuk melacurkan dirinya tetapi tidak disebarluaskan ke publik maka tidak memenuhi unsur dari pasal ini.
Lalu bagaimana dengan pelanggan seks? KUHP tidak mempersoalkan pelanggan yang membeli seks pada sebuah kegiatan prostitusi. Hal ini menunjukkan bahwa pembeli seks pada sebuah kegiatan prostitusi bukanlah sebuah delik atau perbuatan yang melawan hukum, kecuali jika yang dibeli adalah anak-anak yang belum berusia 18 tahun. Jika hal ini dilakukkan, maka perbuatan ini bisa diancam dengan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 Juncto UU No. 35 tahun 2014). Demikian juga jika pembeli seks adalah laki-laki atau perempuan yang telah bersuami/beristeri maka bisa dikenakan delik zina sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP dengan ancaman pidana maksimum 9 bulan. Namun delik zina ini adalah delik aduan, sehingga harus ada pengaduan dari pasangan yang syah yaitu suami atau ister pelaku zina. Jika tidak ada pengaduan, maka pembeli seks tersebut tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Dengan demikian, pembeli seks tidak bisa dipidana jika tidak memenuhi kualifikasi yang saya sebutkan di atas, demkian juga dengan pelacur (pekerja seks komersial) tidak bisa dipidana. Posisi mereka hanyalah sebagai saksi, itupun jika prositusi itu melibatkan germo atau mucikari atau pihak lain yang mendapatkan keuntungan atas berlangsungnya transaksi seksual tersebut.
Dalam konteks prositusi online ini yang melilit seorang artis, maka analisis hukumnya juga sama. Jika si artis tersebut bukan seorang mucikari, atau orang yang mendapatkan keuntungan atas sebuah kegiatan prostitusi maka tentu saja tidak bisa dinyatakan perbuatannya sebagai sebuah delik atau perbuatan pidana. KUHP maupun UU ITE tidak bisa menjeratnya.
Pertanyaannya adalah kenapa KUHP tidak mengkriminalkan perbuatan pelacuran dan pembeli seks? Sebagaimana diketahui KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut wetbook van straftrecht adalah kitab hukum buatan Belanda yang diberlakukan di Indonesia tanggal 1 Januari 1918. Ketika Indonesia merdeka, Kitab ini masih terus diberlakukan dengan melakukan penyempurnaan di beberapa bagian. Oleh karena itu, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dianut dalam KUHP ini adalah nilai-nilai barat yang tentu saja berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.