Lihat ke Halaman Asli

Agenda Persoalan Anak

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kelihatannya peringatan hari anak nasional kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Media massa terutama elektronik jauh-jauh hari telah mengkampayekan perlindungan anak. Berbagai slogan tentang pengalaman anak Indonesia dideskripsikan dengan gamblang. Anak harus dilindungi, anak harus mendapat perhatian, anak jangan dieksploitasi, anak jangan ditelantarkan, anak adalah harapan bangsa, anak adalah pewaris kepemimpinan, begitu kira-kira jargon perlindungan yang dikampayekan. Apalagi Presiden Soeharto mencanangkan tahun ini sebagai tahun Anak Nasional.

Deskripsi yang dibuat media massa masih terlalu dangkal melihat problematika anak. Bila ditelusuri oleh jauh maka akan terlihat bagaimana sebenarnya penderitaan anak Indonesia. Berbagai fakta penderitaan anak bisa terlihat lebih jauh: eksploitasi anak, anak yang terpaksa bekerja, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak cacat, anak yang melakukan pelanggaran/kenakalan, peyalahgunaan narkotika dan zat aditif lainnya, kewarganegaraan, perwakilan, pengangkatan anak, perlindungan terhadap pemerkosaan/kejahatan/penganiyaan, perlindungan terhadap penculikan dan anak putus sekolah serta sederet fakta lain yang menunjukkan betapa masih rendahnya perlindungan terhadap anak.

Kalau kita cermati eksistensi anak maka anak sebagai harapan keluarga dan sekaligus kelak mewarisi masa depan bangsa. Dengan demikian kedudukan anak sungguh penting dalam kehiddupan manusia dan dalam peradabannya. Kesimpulannya anak harus dilindungi. Mengenai perlindungan ini, maka berdasarkan peraturan juridis formal yang ada, apakah itu dalam konvensi-konvensi internasional(PBB), undang-undang dan peraturan hukum lain, ataupun dalam system nilai budaya domestic institusi anak telah diposisikan sedemikian utama dan mempunyai hak-hak permanent.

Sebagai contoh dalam hukum psitif Indonesia sudah begitu banyak peraturan hukum yang melindungi eksistensi anak misalnya dalam UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, PP No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah, Keppres No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-Hak anak (Konvention on The Right of The Child), Permenaker nomor 01/Men/1987 tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, dan ketentuan lainnya.

Akan tetapi, dalam prakteknya, nasib anak-anak Indonesia dewasa ini tidaklah seperti yang ndah dituliskan didalam doktrin-doktrin formal itu. Problematika mengenai kelompok-kelompok ini menurut catatan Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) sepanjang tahun 1995 dan 1996 masih kontras disekitar kita. Apakah itu anak jalanan (Street Children) anak-anak yang bekerja (Working Children), pekerja anak (Child Labour), dan lain-lain.

Teramat sering pula kita melihat anak-anak bermasalah itu terjerumus pada apa yang dikualifikasikan sebagai eksploitasi anak. Anak yang bekerja di jermal misalnya, atau anak yang dipajangkan untuk melengkapi “dramatisasi” para gepeng dan di kota besar, ataupun gejala prostitusi anak.

Berbagai problematika persoalan anak yang acap kali terdengar adalah anak jalanan, anak jermal dan pekerja anak. Berikut ini uraian persoalan yang merupakan agenda utama permasalahan anak.

Anak Jalanan

Kasus anak jalanan yang menarik untuk disimak adalah eksistensi mereka yang tak terlindungi oleh perangkat hukum. Kasus pemukulan dan penagkapan anak jalanan kerap kali kita dengar, karena dianggap menggangu keteriban lalu lintas. Padahal keberadaan mereka dijalan an sekadar mencari nafkah: menjajakan Koran, rokok, menyemir sepatu dan lain-lain.

Kasus penggusuran, pelarangan, penagkapan, pemukulan yang menimpa anak jalanan menjadi bukti bagaimana pembangunan memenangkan struktur formal yang bermodal dan mampu membayar pajak kepada Negara, sehingga public space of economy dikuasai dan dimonopoli oleh struktur formal , selain itu formalisasi juga ditampilkan melalui praktek-praktek yang sama dengan legitimasi nilai bahwa pembangunan hanya akan berjalan akibat kontribusi sector formal. Sementara sector informal, dimana anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang sekali lagi dianggap sesuatu yang tidak menguntungan.

Potret pembangunan memang diskriminatif dalam memberlakukan sector informal, baik karena logika ekonomi yang dianut maupun karena legitimasi nilai formal yang melatarinya. Dan banyak perangkat nilai, norma ataupun hukum yang selalu digunakan untuk mencari pembenaran terhadap tindakan itu. Bisa Perda, Program Kebersihan dan Ketertiban, atau nilai-nilai social deskriminatif lainnya. Hukum-hukum tersebut tidak mampu dihadapi bocah-bocah kecil yang tidak mempunyai kekuasaan tersebut.

Potret Anak Jermal

Kasus anak jermal (bagan penangkap ikan yang dipancang dilepas pantai) merupakan kasus yang spesifik, sebab kasus ini hanya terjadi di daerah pantai (nelayan) seperti di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Untuk kawasan Sumatera Utara media massa sering mempublikasikan kasus ini dan memperlihatkan bagaimana eksploitasi anak jermal ini.

Sederet fakta anak jermal di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara diketahui dari eksposing pers dan ornop, khususnya kurun waktu 1992-1994. awal 1994, dua orang buruh jermal di kawasan Sialang Buah, terapung ditengah selat Malaka, setelah hengkang dari jermal tempatnya bekerja. Konon, karena kerap dengan perlakuan tak manusiawi, keduanya nekat menceburkan diri, dan berenang menuju pantai.

Kemudian awal 1995 ada 4 anak jermal usia 15 s/d 16 tahun, menerobos ganasnya lautan untuk meloloskan diri dari jermal karena tak tahan kerja paksa dan penganiayaan. “Terlambat sedikit saja, ekor pari dicambukkan ke tubuh,” ungkap buruh jermal itu.

Sebelum itu, medio 1995, ada kasus penculikan tiga anak yang kemudian dpekerjakan pada jermal kawasan Pantai Labu, Deli Serdang. Ketiga anak itu: Roy, Lungguk dan Minus, memburuh di jermal karena tertarik iming-iming gaji menggiurkan. “Mulanya kami diajak bekerja di sebuah pabrik di Lubuk Pakam, tetapi sesampai di Lubuk Pakam kami langsung dibawa kepantai Labu, “ papar mereka kepada LAAI selaku kuasa hukumnya.

Demikian beberapa kasus anak-anak yang dipekerjakan di jermal yang berada di tengah laut, dengan tidak ada perlindungan kerja, gaji yang tidak jelas, jam kerja yang tidak pasti, maut yang setiap saat mengancam mereka bahkan mereka harus berkorban dengan makan apa adanya sesuai dengan yang disediakan pemilik jermal. Namun tetap saja hukum belum menjangkau ke tengah laut dimana anak-anak ini berada. Hukum masih melegalkan mereka untuk bekerja walaupun sebenarnya perangkat nilai sudah mengklaim keberadaan mereka ditengah laut sebagai sesuatu yang tidak wajar.

Siluet Pekerja Anak

Pekerja anak di Indonesia dapat dijumpai di berbagai sector, baik sector formal, informal, maupun sector pertanian. Fenomena pekerja anak sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Fenomena ini bukanlah karena adanya suatu transformasi system sosial-ekonomi dari masyarakat pertanian ke masyarakat pra-industri, atau karena proses industrialisasi. Meskipun demikian, kita semua menyadari bahwa fenomena pekerja anak ini muncul dalam bentuk yang sangat eksploitatif bersamaan dengan adanya transformasi social-ekonomi masyarakat dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri.

Berabad-abad yang lampau, anak-anak telah bekerja sama dengan orang tuanya mencari makan, berburu, mengumpulkan kayu, memelihara ternak, serta membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Hanya anak-anak dari keluarga “berada”atau keluarga “tertentu” saja yang mungkin bebas dari pekerjaan. Hal yang relative “baru” justru ialah gagasan bahwa para pekerja anak ini tidak seharusnya menjadi bagian dari angkatan kerja tetapi idealnya merea bermain dan belajar/bersekolah. Gagasan ini tidak lepas dari adanya tuntutan akan penguasaan pengetahuan dasar yang lebih memadai bagi pekerjaan-pekerjaan yang lebih terspesialisir sesuai dengan perkembangan zaman.

Isu pekerja anak (child labour) dan anak yang bekerja (working children) telah menjadi program aksi badan-badan dunia. Dewasa ini populasi pekerja anak cukup besar, walapun jumlah sesungguhnya di seantero muka bumi belum diketahui secara pasti. Jumlah anak yang bekerja dan skala penderitaannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang disibak ILO, dalam IPEC Program Document (1993), lebih 200 juta anak bekerja diluar rumah atau aktif secara ekonomi karena kemiskinan dan urbanisasi.

Diungkapkan, 7% anak-anak di Amerika Latin, 18% anak-anak di Asia dan 25% anak-anak di afrika, terlibat dalam pemburuhan. Sedangkan, di Indonesia, menurut data BPS (Sakernas 1994) 1,9 juta anak –anak usia 10-14 tahun bekerja atau aktif secara ekonomi, belum termasuk usia 10 tahun. Lain lagi menurut susesnas 1989, sebanayak 6,55 juta anak usia 7-15 tahun berkeliaran diluar sekolah. Diperkirakan, anak dari kelompok ini aktif secara ekonomi. Karena, per teori kelompok ini hanya mempunyai dua pilihan: menganggur atau bekerja (dipekerjakan). Anak yang masuk dunia kerja sector formal ataupun non formal maka jadilah dia pekerja anak yang kerap dengan permasalahan.

Permasalahan yang sebenarnya sangat perlu mendapat perhatian dan sangat memprihatinkan ialah adanya kenyataan dan pandangan dari sebagian masyarakat yang tidak melihat pekerja anak sebagai suatu permasalah yang perlu penangan secara serius. Bahkan ada pandangan yang justru melihat masalah pekerja anak ini dalam sisi yang positif.

Strategi dan Penanggulangannya

Dari uraian di atas dapat kita lihat kompleksitas permasalahan anak., sehingga penaggulangannya hanya efektif bila semua pihak yang terkait dan peduli dengan masalah ini dapat bekerja sama. Masalah anak terutama pekerja anak, anak jermal dan anak jalanan tidak dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah atau LSM saja, tetapi semua pihak harus ikut serta menanggulanginya, baik itu lembaga-lembaga International (ILO, UNICEF, UNESCO dll) massa media, individu, dan organisasi-organisasi keagamaan.

Berbagai aksi dapat dilakukan antara lain program aksi langsung. Program ini biasanya langsung ditujukan kepada kelompok sasarannya yaitu anak jalanan, pekerja anak dan anak jermal. Misalnya saja memberikan pelayanan berupa pendidikan non-formal, peningkatan pedapatan keluarga, pelayanan kesehatan, memindahkan anak-anak dari pekerjaan yang berbahaya ke pekerjaan yang relative tidak berbahaya dll. Tipe program ini biasanya dilakukan oleh LSM-LSM.

Selain itu dapat juga dilakukan dengan program peningkatan kesadaran masyarakat (awareness raising). Aktivitas ini ditujukan untuk menggugah masyarakat supaya mulai tergerak dan peduli terhadap masalah anak, apakah mereka pejabat instansi pemerintah, pengusaha, orang tua, guru, serikat pekerja dll. Kegiatan program ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku, maupun mengadakan seminar.

Sumber: "Waspada", 23 Juli 1996, hlm. 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline