Lihat ke Halaman Asli

Ahlan Mukhtari Soamole

Menulis untuk menjadi manusia

Ancaman Buaya, Sebuah Adagium Politik

Diperbarui: 9 Februari 2019   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : doc pribadi

Adagium ini lucu bila disandingkan pada mereka yang hanya mengandalkan uang dalam pencalonan politik mengandalkan orang dekat, sanak kelurga apalagi kawan. 

Politik itu bukan teman bermain anak kecil, di situ wadah menyatunya gagasan brilian orang-orang yang terfilterisasi dalam pertarungan gagasan dan etika yang baik, bukan tempatnya berpoyah-poyah apalagi alay selalu memuat foto-foto perbarui ketika sedang berkunjung atau sedang melakukan aktivitas yang tak masuk akal, ajaran politik itu bukanlah pentasnya di Indonesia tapi di sinetron sebab banyak menampilkan pencitraan politik semata.

Mulut buaya identik binatang pemangsa, buaya itu binatang buas yang diam apabila kita mendekatinya disangka menyerangnya maka buaya itu menerkam secara tiba-tiba, persis calon anggota dewan kini begitu pun skala presiden.

Mereka seperti mulut buaya atau buaya apabila didekati dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan konstruktif tentang kerakyatan tentang negara tentang konsepsional politik disangkanya sedang menguji dan mencoba-coba.

Sehingga padanya penuh dengan ketakutan, orang yang takut berpotensi mencari alasan untuk bersembunyi atau menyelamatkan diri, baik apabila takutnya itu untuk kepentingan bangsa dan negara namun kalau takutnya hanya karena mengganggu kepentingan diri kelompok semata maka takutnya adalah takut destruktif bukanah takut konstruktif.

Kita cermati pertarungan presiden/wapres, Jokowi dan Prabowo sama-sama saling menjaga diri dan sama-sama akan menyerang apabila memberikan efek ketakutan bagi masing-masingnya sehingga yang menjadi korban adalah orang-orang disekitar mereka yang memeroleh suatu problem besar.

Karakteristik tersebut sangatlah minim akan kognitif politik ideal, mereka hanya bertaut pada politik sebab kekuasaan dan harta semata, harta yang dengan kata lain yakni uang, uang dijadikan sebagai basis pemenangan meskipun sang calon minim aan sikap problem solving berlandaskan pengetahuan progresif dan moral etik politik. Jadi, hanya mengandalkan gigi buaya atau mulut buaya yang menerkak disetiap kesempatan yang dapat menakutinya.

Buaya darat maupun danau semuanya persis politisi hari ini hanya mengandalkan media online instagram, whats up sebagai mata yang siap memata-matai warga dengan menampilkan pencitraan-pencitraan yang dibikinnya sangatlah minim keleluasan manusiawi, apabila ditelanjangi maka diketemukan berbagai ambisi, hasrat kekuasaan dan dorongan untuk memerleh uang semata.

Pencalonan yang diikuti hanya sebuah pengharapan memeroleh gaji dari upaya politiknya bukan sebagai jalan perjuangan politik untuk membangun ummat dan bangsa, meskipun mereka para calon dewan tersebut bergelar akademik rata-rata dari Sarjana 1 hingga 3 tapi cara pandang terhadap negara sebatas keuntungan materil semata, berbeda perjuangan politik dikontestasikan para tokoh intelektual bangsa yang murni perjuangan yang dihiasi sikap intelektual moral politik dan pengetahuan kenegaraan secara kompherensif dan holistik, sehingga sikap itu bukanlah biasa-biasa saja namun merupakan rintihan semangat membangun bnagsa dan Negara dari keterjajahan dan berbagai hegemni politik yang menggerus bangsa di ambang kehancuran.

Maka, sejatinya untuk menyelamatkan Negara dari keterpurukan baik sikap tindakan politik dan konsepsional bangsa dan negara patut semestinya mereduksi sistem berpikir berlandaskan kepetingan kolektif bangsa dan negara bukan berdasar hasrat dorongan kekuasaan dan mental budak tunduk terhadap kekuasaan dan uang semata sebagaimana sosok orang abdi yang tunduk pada kaum ningrat feodal.

Sebagai warga bangsa cita-cita keadilan tak hanya sekedar terpadang pada aspek Hak Asasi Manusia namun utamanya Hak kemerdekaan baik dalam pikiran maupun tindakan sehingga sikap yang terejawantahkan dalam bernegara merupakan ciri khas autentik keIndonesiaan tanpa ada iming-iming sebagaimana intevensi Amerika Serikat, China terhadap Indonesia yang mebuat politik dan demokrasi Indonesia berada dalam iming-iming yang menghanyutkan, di sinilah kesadaran berbangsa dan bernegara penting diimplementasikan untuk membangun masa depan negara secara berdaulat.

*Penulis adalah pegiat Belajar Filsafat, Kebangsaan dan kenergaraan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline