Oleh Ahkam Jayadi
Kita tidak bisa pungkir bahwa, Era algoritma telah mengubah cara manusia berinteraksi, bekerja, dan bahkan berpikir. Entitas revolusi digital ini menciptakan dunia baru yang dibentuk oleh kecerdasan buatan, big data, dan otomatisasi. Namun, perubahan ini juga membawa tantangan terhadap konsep-konsep fundamental seperti nasionalisme. Sebagaimana di ulas dalam tulisan Denny JA, gagasan tentang nasionalisme di era algoritma dieksplorasi sebagai fenomena yang memerlukan pemahaman dan pendekatan baru dalam memahaminya.
Entitas Algoritma dan Identitas Kolektif
Wujud nasionalisme tradisional didasarkan pada kesadaran kolektif suatu bangsa terhadap identitas budaya, bahasa, dan sejarahnya.Hanya saja, di era algoritma, identitas kolektif ini mulai tergantikan oleh identitas digital yang dikendalikan oleh platform global seperti Google, Facebook, WhatsApp, TikTok dan Instagram. Algoritma yang mendasari platform-platform ini cenderung membentuk pola pikir berdasarkan preferensi individu, menciptakan "filter bubble" yang memisahkan individu dari pandangan yang berbeda satau sama lain.
Pandangan Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You (2011) menjelaskan bagaimana algoritma media sosial menciptakan ruang isolasi yang mempersempit akses pengguna terhadap perspektif lain. Dalam konteks ini, algoritma dapat melemahkan rasa kebersamaan nasional. Misalnya, algoritma media sosial lebih sering mempromosikan konten yang sensasional atau divisif karena konten semacam itu cenderung menarik lebih banyak perhatian. Akibatnya, masyarakat lebih mudah terpecah berdasarkan ideologi, agama, atau kelompok sosial lainnya yang ada.
Wajah Nasionalisme di Dunia Tanpa Batas
Pada era digital, batas-batas fisik suatu negara menjadi semakin kabur. Informasi mengalir bebas melintasi negara tanpa mengenal perbatasan. Hal ini menimbulkan tantangan bagi nasionalisme yang berbasis geografis. Di satu sisi, era algoritma menawarkan peluang untuk memperluas wawasan global. Namun, di sisi lain, arus informasi global juga dapat menggerus nilai-nilai lokal dan rasa cinta tanah air sehingga merusak rasa persatuan.
Demikian juga Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018) menyebutkan bahwa globalisasi dan teknologi digital telah menciptakan "komunitas global" yang melampaui batas-batas nasional. Sebagai contoh, generasi muda yang tumbuh dengan akses internet sering kali lebih terhubung dengan budaya global daripada budaya lokal mereka sendiri. Ini tidak berarti mereka kehilangan nasionalisme, tetapi bentuk nasionalisme mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih cair dan terhubung secara global sebagai suatu masyarakat dunnia.
Tantangan dan Peluang Nasionalisme Digital
Walaupun menghadapi berbagai tantangan, era algoritma juga membuka peluang baru bagi nasionalisme. Dengan memanfaatkan teknologi, pemerintah dan masyarakat dapat menciptakan bentuk baru dari nasionalisme yang lebih inklusif dan adaptif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi dalam upaya mengantisipasi hal tersebut adalah sebagai berikut.
Upaya Mengembangkan Algoritma Berbasis Lokal