"Seandainya tulisan ini dibaca Mas Mentri, apa komentar beliau ya?", akh aku ngimpi.
Sebenarnya istilah "Budaya Menulis dan Meneliti" (disingkat: BMM) pertama kalinya diucapkan Bapak Robertus Wahyudi Triweko, Rektor UNPAR ketika memberikan sambutan di festival proyek sains IPA dan IPS sekolah kami. di tahun pelajaran 2013/2014.
Istilah tersebut kami adopsi untuk menyebut mata pelajaran khusus berlandaskan Collaborative Learning dan Project Based Learning a la sekolah kami. Kebijakan saat itu, semua mata pelajaran jurusan IPA dan IPS, diwajibkan untuk menyelenggarakannya.
Munculnya mata pelajaran PKWU yang difusikan dengan TIK menyebabkan pimpinan sekolah harus berpikir keras dalam pengalokasian jumlah jam mengajar bagi SDM-nya. Program BMM, yang tidak memiliki pijakan kurikulum, akhirnya 'mengalah' di tahun 2018.
"Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi"
Cuplikan pidato Mendikbud Nadiem Makarim, Peringatan Hari Guru Nasional 28 November 2019
Dengan dicetuskannya siswa merdeka belajar oleh Mas Nadiem Makarim, gagasan penyelenggaraan mata pelajaran khusus BMM tentu relevan karena laras tujuannya, yaitu mengutamakan pemanusiaan siswa yang komprehensif.
Sembari bernostalgia capaian masa lalu, penulis ingin kilas berbagi penyelenggaraan BMM dari sudut pandang bidang fisika.
Latar Belakang penyelenggaraan mata pelajaran Budaya Menulis dan Meneliti Bidang Fisika