Lihat ke Halaman Asli

Duka Dalam Perpisahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi yang cerah, udara yang sejuk dan kicauan burung turut memeriahkan  panggung kehidupan pada waktu itu. Kami yang sedari subuh belum beranjak dari Mesjid. Di dalam mesjid kami berpelukan satu sama lain untuk yang terakhir kalinya. Lelehan air mata mengalir membasahi pipi. Dada pun terasa sesak seperti ingin meletus. Suara Isak tangis memenuhi ruangan mesjid. Dinding mesjid seolah - olah ikut larut dalam kesedihan.

Pagi yang sangat mengharukan. Selalu ada air mata dalam perpisahan. Hari itu kami harus berpisah dengan sekolah tempat kami menimba ilmu. Kami akan berpisah dengan orangnya, gedungnya, suasananya, keceriaannya, kesedihannya, dan banyak lagi  yang belum tentu akan kami temukan di tempat lain.

Di dunia ini memang pada akhirnya harus merelakan semuanya. Pada satu waktu pun kita akan berpisah dengan dunia ini. Tetapi yang paling menyakitkan adalah tidak adanya kesempatan mengucapkan 'Selamat Tinggal'.

"Terima kasih pada guru - guruku yang dengan senang hati mendidikku. Tanpa didikan kalian mungkin aku tidak  menjadi yang sekarang. Kalian telah mendidikku banyak hal yang sangat bermanfaat dalam hidupku ini. Aku selalu berusaha mengamalkan semua yang kalian ajarkan. Semoga kalian dalam limpahan rahmat-Nya. Dan Tuhan membalas semua kebaikan kalian."

"Terima kasih pada sobat-sobatku yang telah ikut mengisi hari-hariku. Dukungan kalianlah yang membuatku tetap kuat sampai kini. Tanpa kalian, aku kehilangan pendukung yang setia. Kalianlah yang terbaik. Aku menyanyangi kalian. Semoga Tuhan memberkahi kalian."

Ungkapan yang tulus dari dasar hatiku.

Begitu cepat waktu berlalu. Tiap detik merupakan nafas kehidupan. Salah satu momen terbaik dalam hidupku ketika aku masih menghirup udara, menginjakkan kaki dan  menuntut ilmu di sekolah unggulan kota tercintaku itu. Sekolah yang didirikan oleh sebuah keluarga asal daerahku yang telah sukses dan kaya di Ibukota berupa hasil zakat, sodaqoh dan infak mereka. Kenangan yang tak terlupakan. Sesuatu yang sangat aku rindukan. Tetapi untuk kembali ke masa itu sungguh mustahil dan tak mungkin.

Aku rindu guru - guruku yang tiap pagi meniup pluit membangunkan kami,  menceramahi kami seusai sholat subuh, membimbing iman kami ke jalan yang benar, mendidik kami dalam nuansa islami dan mengajar kami di ruang kelas.

Aku juga sangat rindu dengan teman - temanku yang bersama-sama bermimpi menjelajahi dunia ini kelak dari balik tembok yang mengurung kami. Teman yang membangunkanku malam hari untuk belajar menghadapi ujian sekolah esok, sholat malam, dan mencuci pakaian.

&&&

Di pagi ini cuaca mendung, awan tebal menghias langit, udara terasa dingin dan suasana di rumah sakit masih hening membuat panggung kehidupan sedikit mencekam. Tubuhnya terbaring lemah di atas kasur. Pria yang gemuk itu sekarang kurus kerontang. Penyakit ganas yang dideritanya mengikis daging tebalnya. Ia menatap kami dengan tatapan yang dalam. Mungkin ia sedang mengingat wajah kami. Wajah yang mulai asing baginya. Wajah yang telah lama menghilang dari hadapannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline