Lihat ke Halaman Asli

Ahaz Zahrafandi

Menulislah

Seribu Botol Surat Samudera

Diperbarui: 21 April 2019   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah pantai yang indah, di sebuah pulau yang mempesona. Hiduplah seorang anak kecil berumur sebelas tahun bersama kedua orang tuanya. Pulau itu indah karena setiap kali matahari tenggelam akan terdengar lantunan lagu indah dari hutan-hutan lebatnya.

Konon di sana ada peri-peri hutan yang selalu bercengkrama sambil bernyanyi. Pantai itu mempesona karena setiap matahari terbit terdengar nyanyian elok dari tubir pantai yang terbuat dari gugusan karang. Dan di tubir itu pula terdapat putri duyung yang riang menyambut pagi.

Nama anak kecil itu Nayla. Nayla artinya cahaya. Cahaya itu indah. Nayla anak yang manis, anak yang pintar. Walaupun ayah Nayla itu hanya seorang nelayan. Setiap sore ia naiki perahunya yang dilengkapi dengan jaring besar untuk bekerja menangkap ikan.  Ia pergi mengarungi lautan mencari ikan-ikan hingga esok pagi menjelang. Setelah merapat di pulau seberang dan menjual tangkapannya, Ayah Nayla kembali dengan membawa mainan baru, makanan, semua barang-barang dan keperluan rumah tangga.

Nayla menganggap tak ada kehidupan yang lebih indah dari kehidupannya. Ibunya berkebun di sekitar rumah mereka. Menanam jagung dan rempah-rempah. Ibu Nayla juga mencari kayu bakar di hutan untuk membakar ikan-ikan tangkapan ayah Nayla. Setiap hari mereka membakar ikan-ikan besar. Keluarga yang sungguh bahagia. Suka dan duka selalu terlampau dengan tabir netra yang selelu terkuak.

Suatu hari  yang sangat menyedihkan. Pagi itu entah mengapa, tiba-tiba putri duyung tidak bernyanyi. Senja pun sunyi. Peri hutan juga tidak bersenandung. Pulau itu mendadak sepi. Langit sepanjang siang menakutkan. Burung-burung enggan menggoda pantai. Seharusnya itu menjadi awal petaka bagi keluarga Nayla. Tapi malam itu juga, ayah Nayla nekat untuk melaut.

"Jangan melaut, Yah. Cuaca lagi buruk". Bujuk istrinya. Ayah Nayla hanya tesenyum.
"Seperti apapun itu cuaca, tidaklah mungkin mampu mengkoar ketetepan alam"
 "Tapi di luar sepertinya akan terjadi badai, yah." Istrinya terus membujuk, tapi nihil. Tak bisa mencegahnya. Suaminya keras kepala.

Persis saat perahu ayah Nayla berangkat melaut, menghilang  dari pandangan mata di tengah deru ombak lautan. Petir mendadak menyambar memedihkan mata. Guntur menggelegar membuat hati ngilu mendengarnya. Cuaca berubah dengan pesat, membuat bulu kuduk meremang melihatnya.

Langit pun mendadak tumpah. Nayla yang selalu mengantar ayahnya pergi melaut, berlari-lari kecil ke rumahnya. Sungguh malang nasib Nayla. Karena besok pagi saat matahari terbit, putri duyung kembali bernyanyi seperti biasanya. Tapi tidak dengan Ayah Nayla. Ia tak akan pernah pulang karena kekejaman laut itu.

Nayla menunggu ayahnya di tepi pantai sepanjang hari. Berdiri tegap dengan matahari yang membakartubuh eloknya. Rambut ikalnya bergoyang ditiup angin pantai. Namun nihil. Sosok ayahnya yang dirindukan tak pernah kembali.

Sejak itu, kehidupan Nayla berubah, ia mulai murung, sering berkata sendiri sambil menatap laut luas yang ia anggap sebagai laut kejam atau laut luas karena menelan ayahnya tanpa perasaan.

"Ayah, Nayla tidak butuh pakain baru yang ayah janjikan. Nayla hanya ingin ayah kembali. Nayla mohon, pulanglah". Nayla terus menerus membisiki kalimat itu pada dirinya. Sepanjang hari, sepanjang waktu. Percuma, hingga setahun berlalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline