Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Hani Nadif

Direktur Eksekutif Center for National Defense and Security Studies (CNDSS)

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 31 Mei 2024   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Laut China Selatan, sebuah wilayah perairan internasional yang saat ini telah menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi, pengambil kebijakan, hingga pemerhati dunia pertahanan-keamanan. Klaim sepihak nine-dash line oleh Republik Rakyat China (RRC) atas Laut China Selatan (LCS) yang tidak didasarkan pada hukum internasional ini menjadi ancaman yang serius terhadap kedaulatan Indonesia, baik dari sisi pertahanan dan ekonomi berbasis kelautan.

Meski kurang begitu diangkat menjadi suatu diskursus nasional namun sengketa tersebut dan dampaknya terhadap sektor pertahanan dan kedaulatan ekonomi layak menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia secara luas. Memanasnya situasi di LCS akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat secara luas, tidak hanya terhadap kalangan elit. Satu hal yang menjadi sorotan disini adalah bahwa China menganggap LCS dan sebagian LNU (Laut Natuna Utara) bukan sebagai ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) melainkan sebagai laut teritorial. Hal ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap bagaimana China akan bertindak kedepannya. Dari sisi pertahanan, bayangkan jika China memutuskan untuk melakukan eskalasi, bukan tidak mungkin LCS dan sebagian perairan Laut Natuna Utara (LNU) akan dipenuhi oleh kapal perang dan penjaga pantai (CG) dari berbagai negara yang terlibat. Hal ini akan sangat merugikan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Stabilitas pada ALKI akan terganggu yang kemudian menyebabkan disrupsi besar pada aktifitas ekonomi masyarakat.

Dampak terhadap Ekonomi Kelautan 

Memanasnya konflik LCS dapat mempengaruhi aktifitas ekonomi kelautan Indonesia. Mengutip artikel The Conversation, Per tahun 2022 terdapat 6.130 populasi rumah tangga nelayan di Natuna  yang bekerja sebagai nelayan perikanan tangkap dan budidaya atau 7,4% dari total populasi penduduk Natuna. Ini angka yang cukup signifikan dan oleh karenanya pemerintah harus dapat menjaga kesejahteraan warga di Natuna dan mempertahankan legitimasinya atas wilayah LNU. Jika ditotal, BPS Kabupaten Natuna per tahun 2019 mencatat bahwa terdapat 266,86 ton dari hasil perikanan budidaya dan 104.879,8 ton dari perikanan tangkap menggunakan berbagai metode. Jika eskalasi terjadi, maka kegiatan perekonomian warga akan terkena dampak signifikan. Mobilitas para nelayan akan terhambat dan semakin ragu untuk melaut karena khawatir akan terjebak dalam pertikaian kapal-kapal negara yang bersengketa. Dalam hal ini, keamanan manusiawi warga Natuna akan terancam.

Sama halnya dengan masyarakat nelayan di Natuna, kelompok pemilik modal di Indonesia juga akan terkena dampaknya. Berapa banyak ekspor barang perusahaan Indonesia yang lalu-lalang melewati jalur di LCS? Negara-negara tujuan ekspor Indonesia yang melewati LCS misalnya, menuju ke China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan. Begitupun sebaliknya, perekonomian domestik Indonesia juga membutuhkan barang dan jasa yang berasal dari negara-negara tersebut. Jika terjadi eskalasi konflik, kegiatan ekonomi tersebut akan terdisrupsi secara massif.

Saat ini Indonesia mengekspor sejumlah komoditas yang harus melewati jalur pelayaran melalui LCS. Beberapa diantaranya seperti minyak sawit, batu bara, karet, gas alam, timah, ferronickel, tembaga dll. Menurut artikel yang dirilis oleh Shipping and Commodity Academy, ekspor gas alam Indonesia dengan total 100 trilliun kaki kubik sangat dibutuhkan di Jepang dan Korea Selatan untuk proses industri dan pembangkit Listrik. Sedangkan bagi China, Indonesia adalah pengekspor timah terbesar dengan total 72.000 metrik ton. Hanya dengan sedikit contoh ini saja, bayangkan betapa besar kerugian ekonomi bagi Indonesia, belum lagi jika kita menghitung apa yang akan terjadi terhadap usaha-usaha turunannya.

Dampak terhadap Stabilitas ALKI 

ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) adalah jalur laut yang ditetapkan untuk memfasilitasi keperluan navigasi kapal-kapal yang akan melewati wilayah perairan Indonesia. Jalur ini sangatlah penting bagi Indonesia untuk kepentingan keamanan jalur dagang, energi, dan pertahanan teritorial. Jika sengketa di LCS berubah menjadi konflik militer, maka dapat dipastikan LNU yang secara geografis adalah bagian dari LCS akan turut terkena dampak spill-over dan akan merusak kestabilan di wilayah perairan LCS dan LNU. Efek spill-over yang akan muncul antara lain seperti; (1) Gangguan pada jalur pelayaran kapal komersial yang menimbulkan kerugian dari sisi perdagangan, transportasi, dan perikanan; (2) Meningkatnya biaya asuransi perkapalan akibat kondisi perairan yang semakin tidak aman. Para pelaku kriminal dapat mengambil keuntungan dari kondisi keamanan yang tidak stabil untuk melancarkan aksinya; (3) Wilayah perairan Indonesia akan berubah menjadi medan perang antar kekuatan yang berseteru. Pulau-pulau di Indonesia akan masuk dalam jangkauan sapuan radar dan senjata kapal perang China dan negara lain yang bertempur di perairan Indonesia. Hal ini akan menyebabkan dilema besar karena disatu sisi, Indonesia adalah negara netral sedangkan disisi lain Indonesia berhak untuk mempertahankan dan menegakkan hukum didalam wilayah yurisdiksinya. Dengan kata lain hubungan internasional antara Indonesia dengan negara yang berseteru akan sangat kompleks

 

Saran dan Kesimpulan

Dengan garis pantai yang panjang dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia sangat bergantung pada sektor kelautannya untuk menunjang perekonomian nasional. Eksploitasi dan penguasaan sepihak oleh China di wilayah ini dapat mengganggu aktivitas perdagangan, mengurangi hasil perikanan, dan menurunkan pendapatan dari sektor energi, termasuk minyak dan gas alam. Selain itu, ketegangan yang meningkat di LCS akan menghasilkan efek spill-over terhadap LNU dan hal ini dapat mempengaruhi jalur pelayaran internasional yang vital bagi ekspor dan impor Indonesia, sehingga dapat merugikan ekonomi secara keseluruhan. Untuk menghadapi ancaman tersebut saya kira dapat dilakukan beberapa hal. Pertama, meningkatkan kehadiran militer dan keamanan maritim. Dengan adanya infrastruktur militer dan kehadiran kekuatan patroli yang mumpuni, Indonesia akan dapat mempertahankan legitimasinya secara politik dan militer terhadap wilayah EEZ di Laut Natuna Utara dan mengamankan jalur ALKI dengan lebih baik. Lebih jauh, ketiga matra TNI harus dapat bersinergis menggunakan strategi A2/AD (Anti-Access/ Area-Denial) untuk menghalau dan membatasi pergerakan PLA-Navy di kawasan. Dari sisi penegakan hukum, pengambil kebijakan dapat melakukan peleburan dari berbagai instansi yang terlibat kedalam BAKAMLA untuk mempermudah koordinasi dan menngefisiensikan birokrasi. Kedua, diplomasi budaya. Indonesia dapat melengkapi upaya diplomasi yang telah berjalan dengan mempromosikan pertukaran dan apresiasi antar budaya yang berbeda melalui seni, musik, pendidikan, dan tradisi. Ini membantu mengurangi prasangka dan meningkatkan pemahaman satu sama lain, yang diharapkan mampu mengurangi ketegangan dan potensi konflik.  Ketiga, pemberdayaan dan perlindungan nelayan lokal. Indonesia harus menyediakan asuransi dan perlindungan hukum bagi nelayan yang beroperasi di wilayah-wilayah yang rentan terhadap konflik. Adanya kegiatan ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan adalah salah satu penanda kuat bagi pengakuan pihak lain terhadap legitimasi Indonesia di wilayah tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline