Lihat ke Halaman Asli

Nur DhuhaniaAhaddina

Medical doctor

Tentang Laktasi (Part 4)

Diperbarui: 9 Januari 2020   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hari-hari saya di rumah mertua terasa sangat monoton. Nyusui setiap waktu setiap saat. Entah kenapa anak-anak saya nggak bisa tidur agak lama. Sering saya mikir, bukankah bayi seusia itu lebih banyak tidurnya, kenapa anak-anak saya tidak. 

Hingga suatu hari saat aqiqoh, saya coba bangunkan Marwa untuk menyusu. Tapi nggak bangun-bangun. Mau digoyang-goyang, digelitik-gelitik seluruh badannya nggak bangun. 

Akhirnya bapaknya pakai cara pamungkas, buka bajunya sekalian buka baju Marwa dan mulai skin to skin seperti perawatan KMC. Harapannya kan nanti terasa panas, Marwa bisa bangun. Benar saja Marwa memang bangun, tapi lemes, nangis nya hanya merengek, tidak keras seperti biasanya. 

Saya langsung galau, sudah beneran nggak bisa mikir, begitu pula suami saya. Kami berdua dokter umum tapi bener-bener nggak bisa mikir di saat seperti ini. Saya tanya pendapat adik ipar saya yang juga dokter, dia juga nggak berani memberi pendapat. Pikiran saya saat itu sangat kacau, takut kalau hipoglikemia, dehidrasi, atau yang lain yang membuat kesadaran menurun dan berdampak fatal pada otak di kemudian hari.

Singkat cerita akhirnya kami bawa ke RS X, tempat biasa mertua cek kesehatan. Pertimbangannya selain Sardjto, cuma RS X yang ada dokter anak standby malamnya. Kalau periksa sama-sama dokter umum ya buat apa, wong saya, suami, dan adik ipar kan dokter umum juga. 

Sesampai di X dan masuk IGD ekspektasi saya langsung turun drastis. Perawatnya yang dinas malam saat itu sangat nggak kompeten kerja di IGD menurut saya. Marwa ditimbang lengkap dengan baju, kaos kaki, dan pampers nya. Batinku: "Apa-apaan ini, timbangan ming nggo pantes-pantes wae. Jelas nggak valid lah."

Belum selesai di situ, mas perawat itu ngambil alat saturasi oksigen dan bilang, "Saturasi oksigen adiknya bagus, Bu. Ini 98% normal."

Saya diem saja, malas protes. Batinku, "Anakku kan ora seseg, apa urgensi nya dicek SpO2. Hadeehh perawat kemeng. Mas Tri, mas Wawan, mas Agung yg paling junior di tempat kerjaku wae kemampuanya jaih di atas dia."

Tapi biarlah, yang penting anak saya bisa diperiksa dokter spesialis anak. Saat diperiksa spesialis anak, Marwa bangun dan respons sperti nggak ada apa-apa. Dokter spesialis anaknya cuma bilang, "Lha ini anaknya aja nggak apa-apa. Terus diperiksain untuk apa? Menyusunya bagus kan? Tinggal disusuin sesering mungkin."

"Iya, dokter. Ini juga saya susuin per 3 jam sekali, saya bangunkan soalnya kan pke sendok jadi kalau nggak dibangunkan takut aspirasi." (sengaja saya gunakan diksi yang berbau medis, aspirasi itu bahasa lain tersedak). Tapi tadi dibangunkan susah sekali, saya takut kalau hipoglikemia. Tapi alhamdulillah kalau sekarang nggak apa-apa."

"Lho ngapain pakai sendok? Kan bisa pakai dot, lebih praktis. Kalau pakai sendok kan banyak tumpahnya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline