Lihat ke Halaman Asli

Saya Bangga pada Nama Saya

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat belum sekolah, teman-teman bermain saya adalah anak-anak di sekitar rumah dan di gang-gang yang dekat dengan rumah kami. Rumah kami terletak di sebuah kampung pinggiran Denpasar. Teman-teman saya ada yang panggilannya Wayan, Kadek, Komang, Ketut, Agung, ada juga yang namanya sama seperti nama saya Agus.

Kemudian saat umur saya cukup, Ayah saya memasukkan saya di TK Swastiastu (sekarang sudah berganti menjadi Santo Yoseph) yang saat itu termasuk sekolah dengan mutu yang terbilang bagus di Denpasar. Saat di sekolah saya bertemu dengan banyak teman-teman baru yang namanya membuat saya terkagum-kagum dan merasa minder. Ada yang namanya Andre, Andrew, Feny, Conie, Sebastian, Desy, Caroline, Kharisma, Yuni Olivia, dan lain-lain yang hampir semua menurut saya keren dan seperti berasal dari luar negeri. Saya menjadi begitu malu karena nama saya hanya Agus Wirajaya, nama yang begitu pasaran dan tidak berbau luar negeri. Saya menyayangkan mengapa Ayah saya memberi nama sesingkat dan sesederhana itu.

Saya awalnya sekolah diantar oleh Ibu beberapa hari, setelah itu karena katanya saya tidak pernah menangis saat masuk kelas maupun pulang sekolah, kemudian saya berangkat dan pulang sekolah ikut dengan antar jemput yang disediakan sekolah. Dan saya memiliki seorang teman akrab namanya Handy Kurniawan namun nama panggilannya sehari-hari adalah Yudi. Kami berbeda kelas namun ternyata rumah kami hanya berjarak sekitar 1 kilo meter. Sehingga kami selalu bersama-sama saat berangkat dan pulang sekolah.

Saya bercerita pada Yudi mengenai tidak sukanya saya pada nama Saya yang sangat pasaran, tidak ada istimewanya sama sekali. Saya bilang semua nama teman-teman itu bagus-bagus, nama panggilan maupun nama aslinya Yudi juga bagus, nama kakak perempuan saya Evi juga bagus, kok nama saya hanya seperti itu dan panggilannya pun tetap Agus.

Yudi mengatakan pada saya, dia malah tak suka namanya Handy Kurniawan, wah saya malah heran, karena Handy itu kan keren, bahasa Inggris, bisa berarti terampil, lalu Kurniawan kan artinya Anugerah, jadi Handy Kurniawan kan keren banget Anak Laki-Laki Anugerah yang Terampil. Lah kalau Agus ya Agus, hanya panggilan anak laki-laki biasa dan di sekitaran rumah ada beberapa anak yang juga namanya Agus. Bahkan ada tetangga di dalam gang yang anjng peliharaanya bernama Agus. Lalu Wirajaya juga biasa-biasa saja tak ada istimewanya. Tapi Yudi bilang Wirajaya itu bagus, artinya menang perang, kan bagus kalau tiap perang bisa menang. Dan pembahasan seperti ini selalu terjadi setiap kami pulang sekolah.

Di rumah pun saya menyampaikan ketidakpuasan ini pada Ibu yang selalu menjawab dengan jawaban konsisten,”Papa itu sejak menikah sudah menyiapkan nama dan hanya dua nama yaitu Agus Wirajaya dan Evi Wirayanti, kalau yang lahir laki-laki akan diberi nama Agus dan kalau lahir perempuan diberi nama Evi. Dan artinya bagus-bagus kok”. Namun saya tetap tidak puas, dan berharap akan menyampaikan protes ini saat bertemu Ayah, mengingat ayah sangat jarang di rumah karena pekerjaannya sebagai supir truk angkutan antar pulau, bahkan pernah sampai ke Sumatera.

Saat bertemu Ayah saya, saya sampaikan protes saya tentang nama saya Agus dan lahirpun saya bukan bulan Agustus dan jawabannya juga tidak memuaskan untuk saya, menurut Ayah karena saya laki makanya dinamai Agus yang diambil dari kata Bagus, dan nama itu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Menurutnya lagi banyak yang dia tahu di luar Bali orang-orang yang namanya Agus itu bagus-bagus. Tapi tetap saja tidak memuaskan saya, kenapa nama saya bukan Michael, Deny, Lukas, Sebastian, Andrew, atau nama luar negeri lainnya. Hampir enam bulan saya mempermasalahkan nama saya, sampai ada sebuah peristiwa yang membuat saya berhenti melakukannya.

Seingat saya waktu itu hari Senin, karena kami upacara bendera di aula sekolah. Selesai upacara saat hendak berjalan menuju kelas, Yudi lari dari barisannya sambil menggenggam sobekan kertas kecil yang lecek menghampiri saya minta diantar ketemu Ibu Suster kepala sekolah kami. Dia mau minta namanya diganti, karena kata mamanya yang menulis nama di raport adalah Ibu Suster.

Lalu kami menghadap Ibu Suster, Yudi mengatakan ingin mengganti namanya dengan nama yang tertulis disobekan kertas tersebut, karena kata mamanya untuk mengganti nama harus minta sama Ibu Suster. Setelah Ibu Suster menerima kertas kecil itu Suster tersenyum dan berkata pada Yudi,”Kalau Yudi mau ganti nama pakai nama ini nanti Ibu bingung kalau di sekolah ini ada dua anak yang namanya Agus Wirajaya. Nama yang diberi sama papa mama kalian pasti artinya bagus dan ada doa di dalamnya”, lalu Ibu Suster melanjutkan, “memangnya kenapa Yudi mau ganti nama?” Yudi bilang bahwa saya tidak suka dengan nama saya padahal nama Agus Wirajaya itu kan artinya bagus jadi biar dia saja yang pakai, saya boleh ambil nama dia yang mana saja. Ibu Suster tersenyum memandang kami berdua lalu berkata lagi,”Tapi kalau Yudi mau tetap ganti, nanti Ibu akan bicarakan sama mamanya Yudi ya, sekarang ayo masuk ke kelas dulu”. Lalu kami diantar oleh Ibu Suster ke kelas masing-masing.

Sejak saat itu saya tidak pernah minder dan malu bahkan saya bangga karena nama saya yang singkat, sederhana, dan sangat Indonesia. Terima kasih Yudi, walau hanya tujuh tahun kita berkesempatan menjadi sahabat karib, semua kebaikanmu sangat membekas dalam diriku, semoga kamu terlahir di alam berbahagia.

Dan ijinkan saya menutup tulisan ini dengan mengucapkan selamat siang teman-teman, nama saya Agus Wirajaya dan saya bangga pada nama saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline