Lihat ke Halaman Asli

[Fiksi Fantasi] Bertujuh

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aguswepe, No. Peserta 79

Sudah ribuan tahun lewat, sejak seorang laki-laki yang tak berpenutup tubuh mulai menyadari bagaimana tubuhnya akan mulai sakit jika berjalan-jalan di udara dingin, kulitnya terasa panas dan seluruh ototnya mulai melumat dirinya dalam rasa ngilu. Demikian pula urat di pelipisnya mulai berdenyut kencang membuatnya sakit kepala, ketika saat ia berteduh di sebuah gua, ia melihat seorang perempuan turut berteduh pula, tanpa penutup tubuh. Dengan sebilah batu tajam, ia merobek satu kantung kemih sapi yang biasa ia bawa ke mana saja untuk menyimpan air, kemudian mengikatkannya di pinggang hingga menutupi kemaluannya. Ia, yang biasa membawa banyak kantung air, merobek satu lagi untuk diberikan kepada si perempuan dalam gua.

Mungkin saat itulah, waktu tengah membuka lebar-lebar mulutnya semacam sebuah gerbang, untuk dimasuki oleh para makhluk tak berbulu tubuh ini, untuk mulai berjalan dengan sepasang tungkai belakangnya, mengenakan selembar kulit makhluk lain atau kulit pepohonan di tubuhnya, atau melakukan hal lain, sekedar untuk membedakannya dari kaum monyet dan makhluk lain yang berjalan dengan empat tungkai. Sekali mereka memasuki gerbang ini, dunia tak akan pernah sama seperti sebelumnya. Satu spesies akan memisahkan diri, melumat spesies-spesies lain, kemudian menjadi penguasa tunggal atas planet ini.

Saat kaumnya mulai mengenal kata-kata untuk menandai sesuatu, pertama kali ia menemukan kesadaran akan dirinya sendiri, laki-laki ini menyuruh manusia lain untuk memanggilnya dengan nama Ji. Orang-orang pun bertanya akan arti dari nama ini, dan ia hanya menjawab, artinya adalah aku. Ia yang pertama kali menggunakan nama itu, dan selama ia hidup, ia bertekad akan menyingkirkan orang lain yang memutuskan untuk menggunakan nama yang sama.

Maka satu demi satu dari kelompok Ji mulai memilih nama masing-masing. Perempuan yang dahulu ia beri pakaian untuk pertama kali—kini menjadi istrinya—memilih untuk menggunakan nama Rwa. Yang lain, seorang laki-laki memilih nama Lu dan dua orang perempuan memilih nama Ma dan Nêm. Ji berharap, pembagian atas nama-nama yang berbeda ini akan menghindarkan kelompoknya dari perselisihan akibat berebut nama, dan cukup terpuaskan atas nama masing-masing. Ia tak mampu membayangkan, bagaimana jadinya seandainya semua memiliki tubuh yang sama, jenis kelamin, wajah, suara, dan nama yang sama.

Bayangkan. Jika semuanya sama, tak akan menyenangkan lagi rasanya menari. Ji senang menyaksikan kelucuan tubuh kawannya yang beraneka macam, begitu konyolnya bergerak-gerak tanpa mempunyai tujuan apapun, semata mengikuti irama tetesan air dari dinding gua. Apa lucunya jika ia melihat orang-orang dengan penampakan sama dengan dirinya sendiri, menggoyang-goyangkan pinggang dan melambai-lambaikan tangan seperti orang tak punya akal? Ji merasa jijik dengan bayangan di kepalanya sendiri.

Berawal dari pola tetesan air dari stalagtit yang terpecah oleh stalagmit di lantai gua, suara paruh burung pelatuk tengah melubangi pohon, atau detak yang muncul dari dadanya sendiri, manusia mulai mengenal irama tertentu. Ji dan kelompoknya mulai membunyikan berbagai nada suara yang tinggi-rendah, bersahut-sahutan satu sama lain sesuai ketukan alam. Tubuh mereka mulai bergerak-gerak secara naluriah, melompat-lompat, jongkok-berdiri, tangan terentang-bersedekap, dan kepala tergeleng-geleng seirama. Menari menjadi hiburan tetap mereka kala pepohonan sedang tak berbuah dan hewan buruan nihil didapat.

Ya, ini sudah ribuan tahun terlewat. Tak terhitung berapa generasi yang telah beranakpinak. Ji, Rwa, Lu, Ma, dan Nêm telah beroleh dan kehilangan anak, cucu, cicit, dan para keturunan mereka.  Mereka telah terlampau kalis dalam merasakan kegembiraan akan datangnya manusia-manusia baru, atau memetakan lubang-lubang yang muncul dalam hatinya kala satu demi satu dari mereka pergi. Ji tidak sendiri, dan bersyukur ia atas hal itu. Masih ada beberapa dari kawanannya yang terdahulu, yang mujur merasakan berbagai rasa sakit tanpa tahu kapan semuanya berakhir. Setidaknya mereka telah menyaksikan saat-saat pertama munculnya bahasa, pakaian, senjata tajam, pertanian, rakit, roda, hingga berdirinya kampung-kampung, kerajaan-kerajaan, dan negeri-negeri demokratis. Semua muncul untuk memudahkan kehidupan manusia, dan tak jarang, memberikan kesempatan yang sama bagi orang-orang untuk mendapatkan kemudahan hidup. Tentu saja dalam kesempatan yang sama, tak semua orang membutuhkan sesuatu yang sama.

Pikiran Ji kembali melambung ke masa lampau, sebelum semua produk-produk waktu itu muncul atau ditemukan oleh manusia. Ia mengingat bagaimana beberapa peristiwa alam mampu menjadikan ia, Rwa, dan yang lainnya sebagai para penari dan penyanyi zaman. Ia ingat ketika suatu waktu, secara aneh muncul dua pendatang baru di permukiman mereka. Yang seorang bernama Pat, dan seorang lainnya bernama sama dengan ia, yaitu Ji.

Ji kedua datang dari pulau jauh di timur dengan menaiki dua helai daun sagu. Tak ada seorang pun dari yang mampu meniru caranya terbang dengan daun sagu, yang ada hanyalah Lu yang terjatuh dari tebing sungai karena mencoba terjun dengan daun kelapa. Tentu saja, daun kelapa dicoba karena di tempat ini tak ada tumbuhan sagu. Daun sagu Ji kedua sendiri akhirnya hancur membusuk, membuatnya tidak mampu untuk kembali ke tempat ia berasal. Pada awalnya, Ji pertama tidak serta merta mengizinkan Ji kedua untuk tinggal, sebelum ia bersedia mengganti namanya. Hal itu disanggupinya dengan berganti nama menjadi Pi.

Sementara itu, pendatang yang lain, Pat, bercakap dengan bahasa yang sukar dipahami. Dengan bahasa tubuh yang susah payah, ia terangkan bahwa ia datang dari utara jauh, tempat matahari berasal. Orang-orang sendiri tidak percaya, karena pada kenyataannya, matahari terbit dari arah timur. Lagipula, ia ceritakan bahwa ia datang dengan mengendarai awan, mereka semakin enggan untuk percaya. Namun, setelah memperhatikan warna kulit dan bentuk matanya yang berbeda, orang-orang mulai mencoba untuk percaya. Yang sukar untuk dipercaya adalah ketika ia menunjukkan kepada orang-orang, bagaimana ia mengendarai awan. Ia merentangkan tangannya dan tak lama kemudian, uap air di udara mulai memadat menjadi awan, hingga semakin memadat seperti isi buah kapuk.

Kini semua percaya bahwa semua berjalan tak seperti kelihatannya.

Ji sendiri tak pernah akur dengan Pi. Ia cenderung menyukai Pat. Karena juga memiliki kemampuan ajaib, Pat menjadi sangat diandalkan oleh Ji ketika kemampuan ajaib yang dipamerkan oleh Pi dirasa semakin mengkhawatirkan. Dalam setiap tarian, jika ada Pi di dalamnya, maka Ji dan Pat akan menyingkir dari kerumunan. Pi pun kini cenderung menjauhi Pat. Pi selalu menganggap bahwa adat istiadat Pat yang berasal dari jauh justru membuat tarian kelompok Ji terasa aneh. Maka setiap kali Pi melihat Pat mulai bergabung menari dengan kawan-kawan, ia akan menutup mata dan telinganya dan menjauh dari apa yang dirasanya begitu sumbang. Pada akhirnya, meskipun kelompok ini sejatinya bertujuh, tak pernah sekalipun terlihat mereka berjalan bertujuh. Selalu saja ada kekurangan satu atau dua orang.

Hal ini terjadi selama bermilenium-milenium. Mereka yang dekat dengan pancaran daya ajaib Pat ataupun Pi, tak akan bisa mati. Ketujuh penari ini telah menarikan kegembiraan ketika pertama kali orang pulau ini berhasil menuai padi; atau ketika Purnawarman berhasil membangun selokan Gomati. Mereka menyanyikan kidung duka dan sukacita ketika Angrok berhasil membunuh Kebo Hijo dan marak menjadi akuwu; juga pesta pora sesaat ketika Soekarno berpidato di Pegangsaan 56. Tarian dan nyanyian mereka mengalun dengan nada-irama yang tak berubah di naik-turunnya kejayaan orang-orang pulau ini.

Setiap zaman selalu berganti dengan zaman yang lainnya. Tak ada satupun yang mengingat mereka. Nama mereka selalu marak dan terbenam kembali.

***

Ji tengah termenung di teras rumahnya. Angin lembah Sindoro begitu lekas mendinginkan gelas teh kothok di genggamannya, atau mungkin tangannya tak lagi merasakan panas dunia setelah ribuan tahun berpindah-pindah di berbagai sudut pulau Jawa. Ia lalu meraih ponsel tablet dari saku kaus polonya. Rwa muncul membawakan sepiring gorengan.

“Mungkin sudah saatnya kita mengontak mereka berlima, Rwa.” keluh Ji.

“Kenapa, sayang?”

“Aku sudah terlalu bosan dengan semua perubahan ini. Aku ingin kita sepakat agar Pat dan Pi pergi. Lalu aku, kau, Lu, Ma, dan Nêm bisa melebur kembali dengan tanah ini.”

Rwa terhenyak. “Kau bercanda.”

Ji meneguk tehnya hingga tandas.

“Sayangku Rwa, tidakkah kita bosan bercanda selama ribuan tahun?”

***

Pancurwening, September 2014

stalagtit: pilar-pilar runcing yang menggantung di langit-langit gua.

stalagmit: pilar-pilar runcing yang menjulang di lantai gua.

Purnawarman: raja kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat; memerintah sekitar abad V Masehi; berhasil memprakarsai penggalian kanal bernama Gomati untuk keperluan irigasi.

Angrok; Ken Arok: raja pertama kerajaan Singhasari; setelah membunuh akuwu Tumapel dan memfitnah Kebo Hijo, ia memperistri janda akuwu, Ken Dedes, dan dilantik menjadi akuwu.

Jalan Pegangsaan No. 56, Jakarta: tempat Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

teh kothok (Jawa): teh tubruk; teh yang diseduh tanpa disaring.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline