Lihat ke Halaman Asli

Sastrawan Indonesia Tanpa Upah Dedikasi Tiada Henti

Diperbarui: 6 Januari 2021   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dedikasi Tiada Henti (masih tentang kesetiaan sastra)
Jika Anda paham, berapa nilai jasa seorang penulis yang merupakan penyebar ilmu pengetahuan dan budi pekerti luhur termasuk didalamnya adalah seorang penyair/sastrawan. Ia memberi keindahan dalam hidup ini. Kedamaian dan pengobat hati dikala gundah gulana.
Entah berapa jumlah tulisan yang diberikan selama lebih dari 30 tahun ( sengaja kurun waktu untuk pembatasan penghargaan pada yang lebih senior) mungkin juga telah ada karya sebelum ditemukan portofolio berupa klipping koran/majalah di media masa.
Kesetiaan itu patut diberikan mengingat hingga saat ini, mereka masih tetap eksis menulis. Padahal bila didalami apa sih keuntungannya menulis? Tak ada yang memberikan imbalan yang layak, Bahkan kadang penulis/penyair banyak berkorban.
Adalah Rahmat Ali yang luput dari ingatan , ia mendapatkan penghargaan menjadi pemenang lomba mengarang cerpen ketika masih muda sekali 1960 yang diselenggarakan oleh media masa terkenal saat itu Gelora. Kemudian Handrawan Nadesul puisi-puisinya sudah tampil di Sinar Harapan, media besar saat itu dan Omni Koesnadi pada tahun 1976 sudah tampil di koran nasional. Ketiga tokoh tersebut hingga saat ini di hari tuanya (buku ini disususn) masih aktif menulis.
Di tahun 2000-an dimana penerbit publissing menjamur penulis membiayai sendiri karyanya untuk dibukukan. Jika tidak ada yang membeli buku yang diterbitkannya sendiri buku tersebut dibagi-bagikan begitu saja, Tetapi tidak ada kekecewaan pada dirinya. Semuanya dilakukan dengan gembira. Tak ada kepedulian dari siapa pun. Mereka tak menikmati finansial apa pun dari karyanya. Yang dibutuhkan adalah apresiasi. Bahkan bila ada yang memuji, sanjungan pun ditolaknya dengan rendah hati.
Puluhan artikel, ratusan puisi, ratusan cerpen dan puluhan novel dan belum lagi yang hanyut dan hilang ditelan waktu menjadi saksi akan kesetiaan itu.
Segala bentuk ekspresi sang penulis kadang terlihat seperti menyendiri, kekecewaan, penyesalan dan kegagalan dialami mereka. Tetapi betapa kagumnya kita mereka tetap menunjukan dedikasi yang tinggi pada seni yang digelutinya sejak muda yaitu menulis sastra Indonesia.
Di sisi lain mereka bukan tidak mungkin memiliki persaingan sesama. Ada yang menjulang tinggi, ada yang ditelan bumi. Ada yang berkibar bersama ada yang menyendiri terpinggirkan. Ada yang tercatat di batu prasasti dan ada yang seperti daun kering melayang dihembus angin (rg Bagus warsono)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline