AKU, PUISI, DAN SELEKSI
Oleh: Wardjito Soeharso
Puisi adalah sekumpulan kata-kata indah yang bermakna. Jadi aspek utama dari puisi adalah kata-kata yang disusun sedemikian sehingga menjadi indah, memiliki estetika, baik dari format, pilihan kata, maupun tipografinya. Setelah aspek indah atau estetika, barulah menyusul makna. Kata-kata yang disusun indah itu akan semakin kuat apabila mengandung makna yang kuat pula. Dari dua aspek inilah aku melihat puisi. Puisi yang baik adalah bila memenuhi dua aspek itu: kata-katanya indah dan maknanya bernas.
Dalam ilmu komunikasi, pesan atau message berisi ide atau gagasan dan emosi atau perasaan. Manusia berkomunikasi pada dasarnya adalah dalam rangka menyampaikan ide, gagasan dan atau emosi, perasaan, kepada orang lain. Fungsi emosi dalam komunikasi adalah untuk membungkus ide, gagasan, agar menjadi lebih indah, lebih menarik, sehingga lebih mudah dan lebih cepat ditangkap dan dipahami oleh orang lain.
Dalam konteks ini, puisi dapat disebut sebagai pesan. Pesan yang ingin disampaikan oleh si penyair kepada para pembacanya. Sebagai pesan, sudah barang tentu, isinya adalah juga ide, gagasan, dan atau emosi, perasaan penyairnya. Bila dihuhungkan dengan pemahaman puisi adalah sekumpulan kata-kata indah yang bermakna itu, berarti indah itu adalah emosi atau perasaan, sedang bermakna itu adalah ide atau gagasan. Simpul dari pengertian ini, puisi menjadi indah karena kata-kata yang dipakai melalui proses seleksi yang ketat untuk memunculkan suasana emosional penyairnya. Kata-kata yang dipilih ketat inilah yang disebut dengan diksi. Puisi yang kuat terbangun dari diksi yang berisi. Begitulah kira-kira.
Ide atau gagasan sering menjadi nomor dua dalam puisi. Banyak penyair lebih mementingkan emosi untukmembangun suasana batin dalam puisinya. Bahkan, begitu intensnya si penyair membangun suasana batin itu dengan diksi sesuai selera puitiknya, menjadikan puisinya sulit dipahami oleh orang lain. Pembaca atau penikmat hanya mampu menangkap emosi atau suasana yang dibangun si penyair, tapi sulit menangkap atau memahami ide, gagasan yang tersembunyi dalam puisi. Puisi-puisi yang sulit dipahami makna isinya karena terbungkus oleh diksi, sering disebut sebagai kekaburan atau obskuritas. Obskuritas menjadi bagian dari estetika, yang memperindah puisi. Untuk menilai puisi mana yang lebih baik, yang tingkat obskuritasnya tipis (mudah dipahami) atau tebal (sulit dipahami), tentu menjadi sangat subyektif.
Yang jelas, ketika puisi itu sudah terlepas dari penyairnya, dia menjadi entitas independen. Dia sudah menjadi dirinya, yang siap dikupas, dilahap, dinikmati oleh siapa saja yang ingin mengupas, melahap, menikmatinya. Jadi, boleh saja, sah-sah saja, bila puisi yang sama ditangkap dan dipahami secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda. Aku, kamu, dia, kalian, mereka, bisa mempunyai pandangan yang berbeda atas suatu puisi.
Dengan pemahaman itu, mestinya untuk menilai puisi itu adalah satu hal yang sangat muskil. Bagaimana mau menemukan penilaian bila yang ditangkap dan dipahami oleh setiap orang bisa berbeda? Puisi yang menurut si Fulan bagus, belum tentu bagus menurut si Ali.
***
Begitulah. Ketika aku diminta menyeleksi puisi dan memilih 20 terbaik, aku sadar subyektifitasku yang pasti bermain dalam proses seleksi itu.
Aku sudah melakukan tugasku. Aku sudah mencoba melakukannya dengan baik, paling tidak menurut aku. Puisi-puisi yang kupilih adalah puisi-puisi yang menurut selera estetikku indah dan menurut kapasitas etikaku bermakna. Anda semua boleh tidak setuju dengan pendapatku. Anda semua boleh tidak sama dengan seleraku.