Lihat ke Halaman Asli

AGUS WAHYUDI

TERVERIFIKASI

setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Pensiun, Kenapa Harus Mati Gaya?

Diperbarui: 11 Oktober 2022   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.yueyuedang.com

Mungkin agak klise judul artikel ini. Tapi, biarlah begitu saja saya menulisnya. Karena sejatinya saya hanya ingin berbagi cerita. Tentang perjalanan kehidupan. Dari banyak orang yang saya kenal. Ketika mereka harus mengakhiri karir alias pensiun.    

Jujur, banyak orang gagap bin cemas bila ditanya seperti ini: "Mau apa setelah pensiun? Pertanyaan yang sejatinya tak ingin dia dengar. Baik mereka yang bekerja di instansi negeri maupun di perusahaan swasta.

Jawaban yang sering kita dengar, meski berkesan apologetik, mereka senang menikmati masa pensiun. Bisa meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga, momong cucu, atau traveling. Bisa punya waktu banyak mendekatkan diri kepada Sang Khalik.  

Tapi realitanya acap berbanding terbalik. Mereka merasa khawatir akan bayang-bayang purna tugas. Yang dibilang seperti kabut gelap. Berjalan di lorong gelap.

Terlebih, bila penghitungan masa pensiun tersebut kurang 1-2 tahun. Masa-masa itu dianggap amat krusial. Yang dirasakan waktunya berjalan begitu cepat.

Pengalaman banyak orang, yang ditakutkan saat pensiun ada dua hal. Pertama, urusan pendapatan. Rutinitas gaji dan tunjungan plus bonus dipastikan mandek. Kalau pun ada uang jatah pensiun tentu nilainya jauh lebih kecil.

Para pensiunan juga tidak bisa mengharapkan privilege maupun fasilitas. Makanya, mau tak mau, mereka harus melakukan banyak penyesuaian. Dari kebutuhan periuk nasi hingga gaya hidup (lifestyle).

Pun lantaran kebutuhan hidupnya dianggap masih kurang, tak sedikit di antara pensiunan memutuskan untuk bekerja lagi. Atau menjajal merintis usaha.       

Kedua, urusan pertemanan. Di kalangan orang yang pernah memegang jabatan, masalah ini berasa mengkhawatirkan. Banyak temannya akan menjauh. Ogah mendekat. Karena mereka merasa tidak membutuhkan dia lagi.

Seorang teman, yang dulu pernah menjadi pejabat, mengaku selalu bahagia setiap menerima telepon. Saking senangnya, dia kerap minta teman-temannya tak buru-buru mengakhiri pembicaraan. Alasannya dia sedih, sekarang jarang sekali orang menghubungi dirinya. Tidak seperti saat dia menjabat dulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline