"Saya ingin menulis. Tapi entah kenapa setiap kali menuangkan ide dalam tulisan selalu buntu?"
"Banyak ide sebenarnya yang berseliweran. Saat ngobrol, di jalanan, saat sedang melamun. Eh, saat berada di depan laptop, lha kok gak keluar-keluar. Bikin lead saja susahnya minta ampun."
"Sebenarnya waktu terbaik untuk menulis itu jam berapakah?"
Begitu sederet pertanyaan dari sejumlah teman. Mereka yang berhasrat untuk menulis namun masih menemui kekakuan. Masih kurang percaya diri. Buntutnya, tulisan gak jadi-jadi.
Saya selalu membesarkan hati mereka. Jika yang mereka alami, juga seperti yang saya alami. Sangat manusiawi. Saya pun juga sering mampet. Gak punya ide untuk menulis.
Pun ketika menuangkannya, juga tidak selalu lancar. Tak bisa seperti luapan air bah. Mengalir deras. Saya juga sering berhenti menulis di tengah jalan. Tidak melanjutkan untuk beberapa saat.
Banyak orang bisa menulis atau melahirkan karya karena terdorong perasaan gelisah. Seperti halnya diakui Raditya Dika, komedian dan penulis buku-buku bestseller.
Radit, begitu sapaannya, menjadikan kegelisahan sebagai momen yang asyik dan paripurna untuk berkarya. Hampir semua materi stand up comedy Radit dilatarbelakangi oleh kegelisahan.
Kegelisahan, bagi Radit, adalah jembatan untuk mengayak pengalaman-pengalamannya. Dari yang satire, heroik, gokil, dan hal-hal yang sepele. Dia membagi kegelisan sebagai hal yang pantas dinikmati.
Dari gelisah, Radit bisa menjadi representasi anak-anak muda, khususnya kaum jomblo. Yang susah banget dapat cewek dan setiap malam minggu harus sendiri. Yang kerap jadi sasaran bully.