Lihat ke Halaman Asli

AGUS WAHYUDI

TERVERIFIKASI

setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Ingin Rasakan Sensasi Jadi Khatib Salat Ied

Diperbarui: 23 Mei 2020   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi foto:indianexpress.com

Terima dan jalani saja. Begitu keputusan saya ambil untuk keluarga. Kami tetap berdiam di rumah. Memasuki bulan ketiga di masa pandemi Covid-19. Hanya memenuhi kepentingan yang mendesak saja hingga harus melakukan aktivitas di luar rumah. 

Termasuk saat Idul Fitri 2020 tahun ini. Saya sudah menyiapkan diri menggelar Salat Ied di rumah. Saya sudah menyiapkan naskah khutbah yang akan saya bacakan saat Salat Ied nanti. Istri dan dua anak saya sudah siap menjadi jamaah. Setidaknya mereka bakal memiliki pengalaman baru. Melihat dan mendengar saya menyampaikan ceramah Idul Fitri.

 Beberapa hari ini, saya menyempatkan membaca petunjuk Salat Ied di rumah. Baik yang dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan beberapa organisasi lain yang memposting tata cara dan petunjuk Salad Ied di rumah. Berapa kali takbir zawaid (takbir tambahan), surat yang dibaca setelah membaca ta'awudz, dan seterusnya. 

Tidak bayak perbedaan sebenarnya. Juga tidak kelewat memberatkan. Karena Salat Ied di rumah bisa tanpa khutbah jika tidak ada yang mampu. Pun bacaan surat setelah membaca Al Fatihah, bisa dilakukan semampunya. Membaca surat pendek Alquran yang dihapal.

Lha, saya sendiri melihat momen ini spesial. Karena saya ingin merasakan sensasi menjadi khatib Salat Ied. Memekikkan takbir, menyampaikan pesan ilahiyah, membacakan doa, dan seterusnya. Pada saat itu, saya juga ingin membayangkan berbicara di tengah lautan manusia. Dengan intonasi dan suara yang bergetar. Dengan keteduhan dan keheningan. Seperti penampilan para ulama dan ustadz di panggung dakwah.

Bagi saya, khutbah Salat Ied, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, selalu menarik diikuti. Sejak kecil, saya terbiasa mendengarkan khutbah Salat Ied sampai tuntas. Meski matahari mulai meninggi, saya menunggu sampai bubar.Kemudian meminggirkan lalu menumpuk kertas koran yang saya pakai buat melapisi sajadah. Kebiasaan itu saya lakukan sampai sekarang. Karena begitulah sunnahnya.  

 Selain itu, saya juga hobi mengumpulkan naskah khutbah Salat Ied. Semasa kecil sampai remaja, saya selalu Salat Ied di Taman Bungkul, Surabaya. Yang menggelar Yayasan Padi Darmo. Entah, yayasan tersebut masih eksis atau tidak. Semua isi ceramah khatib Salat Ied di Tamam Bungkul selalu dicetak dalam bentuk buku. Cover bukunya ditampilkan foto penceramah. Isi dalam buku, selain materi khutbah, juga terdapat iklan kolom ucapan selamat dan logo-logo sponsor. 

Buku khutbah Salat Ied tersebut dijual dengan tarif "infaq". Di mana hal ini mendorong pembeli untuk memberi lebih dari tarif yang ditetapkan.  Bukan hanya sebelum salat, pada saat ceramah berlangsung, banyak jamaah yang kemudian membeli buku khutbah tersebut. Sayang, koleksi puluhan naskah Salat Ied tak saya temukan setelah saya pindah rumah.

Sekarang, saya hampir tak pernah menyaksikan ada yang menjual naskah khutbah Salat Idul Fitri maupun Idul Adha. Beberapa kali saya Salat Ied di beberapa tempat, tidak ada yang menyediakan. Mungkin sudah dianggap kuno dan gak laku. Karena era digitalisasi menyajikan kemudahan, kecepatan, dan tak berbayar. Cukum merekam kemudian meng-upload di media sosial. 

Saya, dan juga banyak orang, kini menunggu untuk melaksanakan Salat Ied di rumah. Pengalaman pertama kali. Dari lubuk hati terdalam, saya hanya bisa mengucap syukur. Bersyukur sebesar-besarnya. Setidaknya hingga kini, saya masih diberi Allah SWT kesehatan dan kemampuan beribadah di tengah wabah yang mengancam keselamatan jiwa. (agus wahyudi)  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline