Lihat ke Halaman Asli

AGUS WAHYUDI

TERVERIFIKASI

setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Dokter Ini Luruskan Salah Kaprah Rapid Test, Seperti Apa?

Diperbarui: 9 Mei 2020   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi foto:bisnis.com

Saya "tergoda" juga menyaksikan sebaran informasi di WAG, sore ini. Ada seorang dokter memberi penjelasan soal rapid test. Lebih tepatnya meluruskan. Ini terkait maraknya tindakan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa pandemi Corona (Covid-19).

Nama dokter itu, dr Tjatur Prijambodo M.Kes. Menjabat Direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan, Sidoarjo. Saya mengenalnya karena sama-sama aktif di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Dia di Majelis Pelayanan Kesehatan Umum (MPKU), saya menjadi media official PS Hizbul Wathan, klub sepak bola milik PWM Jawa Timur yang berkompetisi di Liga 2 2020.

Di masa pandemi, aktivitas Tjatur tercurah untuk membantu Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) Jawa Timur. Berbagai program disiapkan untuk membantu warga terdampak Covid-19.  

Tjatur mengaku prihatin dengan adanya stigma negatif pada mereka yang hasil rapid test-nya reaktif. Padahal belum tentu positif Covid-19, tapi sudah dapat perlakuan tidak manusiawi.

"Rapid test itu hasilnya bukan positif atau negatif, tapi reaktif atau non reaktif. Apabila hasil dari rapid test reaktif, itu menunjukkan tubuhnya sudah punya antibodi terhadap virus, bukan spesifik virus corona," katanya.

Lha, kalau non reaktif, kata Tjatur, artinya tubuhnya tidak punya antibodi terhadap virus. Diasumsikan virusnya belum masuk ke dalam dirinya. Atau, sudah masuk, tapi belum menunjukkan virulensi, virus yang hebat sehingga membuat reaktif.

Dalam konteks non reaktif tidak terlalu bermasalah. Tapi yang menjadi masalah saat reaktif, kemudian di luaran dia disebut positif Corona.  "Gak bisa. Positif tidaknya Corona hanya bisa dilakukan dengan pemeriksaan swab tenggerokan atau PCR (polymerase chain reaction)," tegas dia.

Pemeriksaan PCR ini mengambil cairan tubuh yang paling banyak mengandung virus. Tes ini dilakukan dengan menggunakan alat usap melalui hidung. Selain dari hidung, sampel cairan tubuh untuk tes ini dapat juga diambil dari dahak.

Sementara, keberadaan PCR sekarang hanya ada di pemerintahan. Bisa di rumah sakit, Litbangkes, dan lainnya. Maka, selama belum ada pemeriksaan PCR, jangan pernah mengatakan seseorang positif atau negatif Corona.

Menurut Tjatur, efek seseorang disebut positif corona sangat dahsyat. Bukan hanya dia, tapi keluarganya, tetangga, semuanya  ikut terdampak. Belum lagi nanti ada yang mengucilkan. Belum nanti jika ditakdirkan Allah SWT meninggal. Kemudian jenazahnya ditolak gara-gara rapid test yang dikatakan reaktif yang belum tentu positif Corona.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline