Isu transparasi anggaran selalu sensitif bagi eksekutif maupun legislatif. Pasalnya, agenda pembahasan anggaran yang dilaksanakan secara periodik selalu dikait-kaitkan dengan kecurigaan publik terkait penyimpangan. Dari tengara konsensus terselubung sampai kasus "titip anggaran".
Yang terjadi di DKI Jakarta, saya yakin, bukan satu-satunya. Di daerah lain pun banyak terjadi. Bahkan mungkin lebih ugal-ugalan. Itu bisa dicermati dari berapa banyak pejabat publik yang bermasalah dengan hukum lantaran terlibat kasus penyalahgunaan anggaran.
Jangan heran pula bila muncul ekspos dugaan penyimpangan anggaran ke publik, eksekutif maupun legislatif acap gelagapan. Gilirannya, mereka biasa berkilah akan melakukan kroscek dulu, Jika makin terdesak, jawaban paling "aman" biasanya ada salah ketik atau salah input.
Fenomena itu sejatinya bisa dilihat dari sulitnya publik mengakses anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Pejabat eksekutif maupun legislatif terkesan tertutup bila dimintai penjelasan terkait APBD. Soal yang ini saya punya pengalaman. Suatu ketika, ada beberapa mahasiswa bertemu legislator. Mereka meminta dukumen APBD untuk mendukung tugas-tugas dari kampus. Karena di website resmi dewan mereka tidak bisa mengaksesnya.
Permintaan mahasiswa itu tak bisa terpenuhi. Legislator itu berkilah jika APBD itu adalah dokumen rahasia negara. Tidak bisa sembarangan diberikan ke publik.
Lha, apa dasar dan alasannya? Karena itu, sebagai jurnalis, saya pun lantas membuat laporan soal kebenaran APBD menjadi rahasia negara? Beberapa pakar pemerintahan saya wawancarai. Semua mementahkan penyataan legislator itu. Dasarnya jelas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik khususnya di pasal 9 dan 11 yang mengatur informasi mengenai anggaran.
Fakta itu, menjadi bukti jika legislator sendiri tak banyak tahu urusan legislasi sebagai salah satu fungsi wakil rakyat. Kecurigaan saya pun bertambah. Jika urusan kapasitas dan rekrutmen legislator menjadi masalah. Sehingga mereka kerap kali blunder memberikan pernyataan ke publik.
Di era reformasi dulu, tiga anggata DPRD Jatim pernah mengiklankan APBD Jawa Timur. Mereka Achmad Rubaie, Haruna Soemitro, Farid Alfauzi. Manuver itu dilakukan karena mereka ingin publik lebih mudah dan blak-blakan mengakses anggaran. Biar tahu berapa besar anggaran yang didistribusikan kepada masyarakat.
Yang lebih keren dilakukan Yoyok Riyo Sudibyo. Bupati Kabupaten Batang periode 2012-2017 itu membuat gebrakan dengan menggelar Festival Anggaran, tahun 2012. Menggandeng Obusmen RI dan didukung Indonesia Corruption Watch (ICW).
Saat bertemu dia pada 6 November 2016, saya agak surprise. Sebab, saya baru tahu kalau Yoyok lulusan Akademi Militer 1994 dan Sekolah Lanjutan Perwira 2004. Yoyok berhenti dari dinas militer dengan pangkat terakhir Mayor.
Dari Festival Anggaran itu, Kabupaten Batang menjadi perbincangan publik. Nama Yoyok Riyo Sudibyo tiba-tiba melejit sebagai bupati yang punya keberanian membeber anggaran ke publik. Hingga dia mendapat Penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award 2015 bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.