Lihat ke Halaman Asli

AGUS WAHYUDI

TERVERIFIKASI

setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Ketika Demo Mahasiswa Dijegal Musik Dangdut

Diperbarui: 26 September 2019   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi demo mahasiswa. foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tiba-tiba, saya merasa nostalgik. Melihat maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kurun waktu terakhir. Gelombangnya terus membesar. Mahasiswa di sejumlah kota besar di Indonesia bergerak. Turun jalan. Semua media massa menjadikan headline peristiwa ini.

Kenapa nostalgik? Ya, karena saya pernah hidup di zaman pergantian rezim. Tepatnya penggulingan rezim. Dan, mahasiswa berperan besar menjadi pressure group. Kelompok orang yang bekerja bersama mempengaruhi pemerintah untuk mengegolkan agenda reformasi. Di mana, Soeharto akhirnya berhenti. Menanggalkan jabatan sebagai Presiden RI.

Aksi mahasiswa kala itu juga massif. Terjadi hampir di semua kota besar di Indonesia. Yang fenomenal tentu saat mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta. Menunggu detik-detik pernyataan Soeharto lengser.

Berbulan-bulan saya melakukan reportase demo mahasiswa di Jakarta. Sebelumnya, sekira tahun 1998, saya bergabung dengan Suara Indonesia (Jawa Pos Group). Koran ini kemudian berganti nama menjadi Radar Surabaya. Dahlan Iskan (waktu itu CEO Jawa Pos Group) yang memilih nama Radar Surabaya. Hingga kemudian muncul nama "Radar-Radar" yang mewakili identitas daerah di Jawa Timur.

Sebagai wartawan anyar, saya tak mendapat pos liputan. Seperti liputan di pemerintahan, pendidikan, hukum, olahraga, ekonomi dan sebagainya. Saya liputan berdasarkan penugasan redaktur. Jika tidak ada, saya harus cari berita sendiri. Meng-create berita sendiri. Tapi harus tetap berdasar data dan fakta. Gak boleh awu-awu alias gak jelas sumbernya.

Masa itu, liputan yang paling sering adalah demo mahasiswa. Hampir setiap hari ada demo di Kota Pahlawan. Baik yang jumlahnya kecil maupun yang besar. Baik di kampus maupun di jalanan. Saking seringnya meliput demo, saya kenal banyak korlapnya.

Sebut saja, Mochammad Sholeh. Dulu, dia kuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Pernah ditahan saat menjadi aktivis PRD. Profesinya sekarang sebagai advokat. Dia kini berjuang maju menjadi calon wali kota Surabaya periode 2020-2025 melalui jalur independen.

Ada juga Taufik Hidayat alias Taufik Moyong. Dulu, dia kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Pernah ditahan karena kasus demo buruh. Kini, dia aktif di ranah seni dan budaya, khususnya tata rupa. Taufik masih menjabat Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Berkantor di Jalan Genteng Kali, Surabaya. 

*** 

Beda isu dan tuntutan. Begitulah poinnya. Demo tahun 1998, tuntutannya melengserkan Soeharto dan mengadili kroni-kroninya, menghapuskan Dwifungsi ABRI, otonomi daerah seluas-luasnya, dan menghapuskan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Sekarang, isu strategis yang diperjuangkan adalah menolak RUU KUHP dan RUU KPK.

Yang sama tentu gelombang demonstrasi yang terus membesar. Mahasiswa keluar kandang. Bersatu dalam gerakan yang lebih massif dan heroik. Objek sasaran demo jelas: gedung wakil rakyat. Mereka kini menagih janji para legislator yang bilang jadi penyambung aspirasi masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline