"Ayo kembali, Nak. Lelaki sejati itu selalu kembali ke rumah. Dalam keadaan apa pun. Sejauh mana pun dia pergi. Jadi pemenang atau pecundang. Membawa hasil atau tidak. Sedih maupun gembira. Sudahlah, sekarang saatnya temui ibumu. Kamu tahu, dia pasti cemas menanti kehadiranmu."
Fadly meraih tangan Ilham, putra sulungnya, yang berderai air mata. Bocah dua belas tahun itu masih menggigil ketakutan. Napasnya tersengal-sengal. Mulutnya bergetar dan terkunci. Keringat dingin membasahi seragam sekolahnya hingga lusuh. Bekal air mineral yang tersisa di saku tasnya tak cukup membuat dirinya tenang. Berkali-kali Fadly menepuk punggungnya. Berusaha menenangkannya.
Ilham beringsut. Duduk berjongkok dengan melipat kedua tangannya di dada. Melihat dari sudut gang, di bawah rindang pohon trembesi. Matanya terus bergerak, menyasar orang-orang di sekitarnya. Sementara Fadly berdiri tepat di depan Ilham dengan posisi melindungi. Keduanya tetap siaga tanpa mengucap sepatah kata.
Sore yang brutal. Ketika kerumunan orang semburat. Sesaat setelah kedatangan ratusan aparat trantib dari dua arah berlawanan. Mereka merampas semua barang dagangan ratusan pedagang. Aksi kejar-kejaran tak terhindarkan.
Kepanikan mendera seketika. Menyesakkan dada. Teriakan dan suara tangisan saling bersautan. Di antara mereka harus terpelanting di jalanan. Bertahan dan melawan. Itu saja pilihannya.
Mat Radji mencoba menghadang. Pria paro baya yang dianggap "penguasa lahan" menghampiri aparat. Dia merengej minta diberi tenggat waktu. Paling tidak untuk mengemasi barang-barang dagangan. Namun upayanya tak membuahkan hasil. Tak mengubah apa pun. Aparat kukuh melanjutkan aksi pembongkaran. Mengambil paksa barang-barang dagangan. Membongkar lapak-lapak semipermanen yang berderet mengular.
"Tolong, Pak. Kasih kami waktu, satu jam saja," pinta Mat Radji.
"Gak ada, gak ada. Semua harus bersih, sekarang" sergah Sunarto, komandan trantib, seraya memberi instruksi anak buahnya segera bertindak.
Negosiasi mentah. Aparat menyambar semua barang pedagang. Tanpa ampun. Keandaan memanas. Memantik reaksi pedagang untuk bergerak melakukan perlawanan.
"Allahu Akbar.., gak usah takut. Lawan...!"
"Kita cari makan di sini... Kita bukan maling..."