Keterkejutan mendadak pecah di ruang belakang rumah peninggalan Belanda, pagi itu. Membuyarkan kesunyian yang selalu terjaga bersama desahan angin yang akrab menemani burung-burung manyar yang ceria menatap cakrawala.
Suara agak berat dan serak tiba-tiba terdengar memekik keras. Pria paro baya datang, menyeruak masuk setelah membanting pintu. Langkahnya tergopoh-gopoh. Sorot mata penuh amarah. Seolah merontokkan semua embun pagi yang bercengkerama hangat dengan rerumputan usai gerimis membasuh lembut perut bumi.
Pemandangan yang sungguh ganjil. Dengan rona mukanya memerah, pria yang setahun terakhir membiarkan janggutnya ditumbuhi rambut-rambut kasar itu, menatap tajam bocah yang duduk bersila di depannya.
Kedua tangannya menggenggam erat seperti ingin meremas buah apel. Kedua mulutnya pun terkatup dan bergetar. Beriringan dengan sorot kedua kelopak matanya yang keriput.
Suruh siapa kamu membuka ini, siapa! Beraninya masuk ke sini, kamu! ucapan Waskita terdengar keras dengan rona penuh kecurigaan seraya tangannya menujuk sebuah kotak kayu dengan boneka-boneka isinya berserakan di lantai.
Bocah tersebut tertegun. Seluruh aktivitasnya seketika terhenti. Kedatangan Waskita dengan amuk hati yang menyala-nyala, membuatnya syok. Bocah itu tak kuasa beranjak dari posisi duduknya.
Tubuhnya berasa berat, tertahan oleh kekagetan yang menggiringnya dalam ketakutan yang sangat. Dia masih duduk bersila dengan tangan memegang dua boneka-boneka berbalut kain lusuh.
Bocah itu sungguh tak percaya dengan apa yang ditatapnya sekarang. Pria yang selalu ia kagumi dan cintai. Pria yang kerap membuatnya terus tersenyum di kala hatinya sedih.
Menyayangi serta memedulikan dirinya ketika ayah dan ibunya berkubang dengan pekerjaan berat untuk memenuhi periuk nasi keluarganya. Pria yang kerap menemaninya tertidur sambil membisikkan cerita-cerita indah.