Lihat ke Halaman Asli

“Renaissance” A la Presiden Jokowi; Salah Langkah Turun Tahta?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14181943351958298236

“It is well enough that people of the nation do not understand our banking and monetary system, for if they did, I believe there would be a revolution before tomorrow morning.”

- Henry Ford; American Businessman, 1863-1947.

APEC 2014; Presiden Jokowi mengundang para CEO’s dan mempresentasikan Gigantic Project yang ia ingin capai atau paling tidak bisa terlaksana pada masa jabatannya. Para investor dipersilahkan untuk mengambil bagian. Mulai dari proyek peningkatan daya tampung terminal Tanjung Priok, Waduk, Seaport dan Deep Seaport, MRT, hingga rel kereta di kelima pulau besar Indonesia; Sebuah Gigantic-Project yang sangat ambisius juga membanggakan. Jika semua itu terlaksana tanpa halangan berarti, Presiden Jokowi pantas mendapat gelar Bapak Pembangunan NKRI. Kitapun bisa memberi lebel masa pemerintahannya dengan era “RENAISSANCE” ala Presiden Jokowi. Apabila GiganticProject ini berhasil dilaksanaan dengan suksen, maka akan banyak perubahan besar dan mendasar yang terjadi; Pol-Ek-Sos-Bud-Hankamnas.

Dengan alasan keterbatasan dana pemerintah, Presiden mengajak para CEO’s untuk berinfestasi dan berjanji memberikan kemudahan. Hanya dalam hitungan minggu bahkan hari, Rusia, Jepang, China dan Korea Selatan menawarkan diri untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan beberapa proyek infrastruktur. Kita harus mengapresiasi keberanian Presiden untuk membuat terobosan baru; “Think Out of the Box”. Pemikiran dan keberanian politik seperti ini merupakan petunjuk, bahwa Presiden Jokowi tidak terbebani oleh berbagai hal dimasa lalu dan sekarang, yang sekiranya dapat memberatkan dan membelenggunya untuk melakukan sesuatu demi kemakmuran/kesejahteraan Rakyat, kemajuan/kedaulatan Bangsa dan Negara. Prsiden tidak memiliki beban sama sekali sehingga ia lebih leluasa untuk manjalankan tugas Kepersidenan secara utuh, serta mewujudkan cita-cita besarnya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagaimanapun dibalik Cita Besar Presiden, ada kendala besar, yaitu: Dilema Pendanaan. Pendanaan bisa didapat dengan cara; PPP/P3 (Public-Private Partnership), G2G ( Govt. to Govt.) biasa disebut dengan kerjasama bilateral, Pemerintah mengeluarkan Global Bond, dan Pendanaan dengan batuan institusi keuangan global IMF/World Bank, dll. Penentuan cara pendanaan inilah terkadang menjadi satu dilema. Mengapa pendanaan harus menjadi sebuah dilema...? Karena, jika Presiden Jokowi salah menentukan pijakan, dampaknya memperburuk atau bahkan kehilangan persahabatan antar negara. Bahkan dalam kasus tertentu karena menolak penawaran pinjaman dari sebuah institusi keuangan global, posisi Presiden bisa saja dijatuhkan, melalui berbagai cara.

Dilema Pendanaan GiganticProject Presiden Jokowi

Untuk menentukan pendanaan berupa pinjaman luarnegri atau kerja sama atau apapun, tidaklah semudah yang kita fikir. Sedemikian kompleks, saling bergantung dan saling mempengaruhi antara satu dan lain, bagai sebuah rangkaian yang tidak dapat terpisahkan; Interdependency. Saling ketergantungan ini memerlukan perhatian secara penuh, sangat khusus dan kalkulasi yang sangat matang. Jika tidak akan dapat menimbulkan peristiwa yang kita tidak inginkan, misal: Pertumbuhan ekonomi memburuk, turbulensi politik, hingga pergantian rezim. Itulah resiko yang harus dihadapi oleh Presiden Jokowi jika salah dalam menentukan langkah kebijakan.

Dilemanya: Bentuk atau skema Kerjasama apapun jika Gagal/Digagalkan oleh pemerintah terhadap negara, IMF/World Bank, atau Perusahaan Multinational tertentu, akan dapat  menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan, seperti: a) Perjanjian Investasi terbaru akan ditinjau, sementara investasi yang sudah ditanamkan tidak dikembangkan atau bahkan bisa ditutup/dihentikan. b) Export Import; Negara yang dikalahkan/gagal/digagalkan akan membuat peraturan atau kebijakan khusus Indonesia, yang akan mengurangi/menghambat eksport/import, diikuti oleh negara-negara sekutunya. c) Hubungan diplomatik merenggang, tidak akan mendukung dan meyetujui prakarsa apapun yang dikeluarkan oleh Indonesia di forum internasional, diikuti oleh aliansinya. d) Diciptakan turbulensi politik, Social Chaos, yang berujung pada jatuhnya pemerintahan dan pergantian rezim. e) Propaganda; Presstitute Media Local/Global, yang menciptakan opini buruk dan sangat buruk terkait dan berhubungan dengan Indonesia. f) Intinya akan ada Retaliation, dari negara-negara yang merasa digagalkan.

Fokus utama: World Bank...

Mengapa World Bank...? Apakah kita harus membenci/mencampakkan/membuang World Bank...? Tidak, tidak harus diapa-apakan. Sebab sistem perekonomian global yang diciptakan saat ini, menciptakan interdependency antara negara dan sudah terikat/terkunci oleh; IMF, World Bank, dan WTO. Jika sebuah negara mencoba keluar/melepaskan diri dari ketiganya, kemungkinan besar akan terjadi pergolakan besar atau ditimpakan sangsi ekonomi hingga mengalami kerusakan dan pembusukan di dalam negeri negara bersangkutan, pergantian rezim tak terelakan, yang berujung kembali bersandar pada ketiga lembaga tersebut; Global Conspiracy...!!! Tetapi ketiga badan dunia di atas, bukan berarti tidak mendapat perlawanan gigih dari beberapa negara yang perduli akan Kedaulatan, Kesejahteraan, Kebebasan, dan Kemandirian. Ini dibuktikan dengan terbentuknya BRICS; Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa. BRICS, adalah pemegang global currency yang tidak bisa dianggap sebelah mata, oleh karena itu mereka sanggup Face-off atau Head to Head melawan IMF dan World bank. Faktanya: BRICS New Development Bank (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline