Membaca topik yang disodorkan Kompasiana tentang undangan perkawinan, saya jadi teringat pada pengalaman pribadi. Ini adalah pengalaman saat saya menghadiri undangan resepsi beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya, pengalaman ini cukup memalukan bagi saya.
Mas Heri biasa saya panggil beliau. Beliau adalah kawan dekat yang lama saya kenal lewat kegiatan pemberdayaan kelompok tani. Saya biasa datang ke pertemuan rutin bulanan kelompok taninya untuk sekedar berbagi materi pemberdayaan kelompok masyarakat dan hal-hal teknis sekitar budi daya tanaman. Beliau tinggal sekitar 3 km dari rumah kami.
Sekitar bulan Juli 2019 lalu, tanggal tepatnya saya lupa, Mas Heri menggelar hajat khitanan anaknya yang sulung. Sebagai kawan dekat, tentu cukup diistimewakan, maka undangan untuk saya tidak berupa kartu seperti masyarakat kebanyakan, tetapi berupa hantaran nasi kotak lengkap dengan lauk pauknya.
Waktu menyampaikan hantaran undangan pun dibarengi dengan khas cara Jawa, matur dengan ucapan halus. Hal ini sudah biasa dilakukan pada masyarakat yang tinggal di desa-desa.
Tiba harinya, berangkat memenuhi undangan Mas Heri. Saya sampaikan ke istri rencana berangkat ke hajatan jam 4 sore sesudah pulang dari kantor. Waktu itu sengaja saya pilih karena biasanya tamu undangan sedang ramai-ramainya. Maksudnya, supaya saya bisa bertemu dengan kawan-kawan yang lain, sekedar melepas kangen dan berbincang tentang khabar masing-masing.
Selesai makan, saya dan istri dipersilahkan untuk pindah tempat duduk ke tempat yang sengaja disediakan untuk tamu khusus untuk lebih santai mengobrol sembari menikmati hidangan dan hiburan.
Setelah asyik mengobrol dengan tamu yang lain, saya dan istri pamit kepada keluarga Mas Heri. Sebelumnya pamit, seperti biasanya para tamu akan memasukkan amplop yang berisikan uang ke dalam kotak khusus. Saya pun memasukkan amplop ke dalam kotak yang diletakkan di samping panggung empunya hajat.
Selesai bersalaman dan basa-basi dengan Mas Heri, kamipun pulang.
Setelah sampai di rumah, saya dikagetkan dengan teriakan istri dari dalam kamar.
"Yah ini uang seratus ribu punya siapa di meja Ayah? Uang kondangan belum dimasukin ke amplop tadi ya?" teriak istri.
"Hah, apa iya!" jawab saya keras sembari berlari menuju kamar.