Lihat ke Halaman Asli

Tidak Setiap Hal Bisa Dimusyawarahkan

Diperbarui: 10 Juli 2015   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat (musyawarah).

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara (Khalifah), wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi (pertanahan), dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana (misalnya tanahnya labil), berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya (maksudnya bidang militer/ahli strategi perang). Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya (ahli dalam strategi perang). Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup (cukup logistik). Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting (suara terbanyak). Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline