Lihat ke Halaman Asli

Dominasi Islam atas Dunia Bukanlah Penjajahan

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama ini sering disangka oleh orang bahwa makna kemerdekaan adalah kebebasan untuk melakukan sesuatu secara mandiri, lepas dari pengaruh pihak lain. Karena itu, makna penjajahan adalah kebalikannya, yaitu setiap upaya yang dilakukan pihak lain untuk ikut campur urusan seseorang (baca: negara). Jadi, kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan (freedom). Sehingga, orang mengira bahwa jika Indonesia ingin merdeka, maka Indonesia harus lepas dari segala bentuk campur tangan, baik dari Barat (kapitalis), komunis, termasuk juga Islam. Jadi, Islam pun bisa dianggap sebagai ‘penjajah’ ketika Islam mempengaruhi segala bentuk kebijakan, sebagaimana dulu Islam ‘menjajah’ Syam, Islam ‘menjajah’ Iraq, Islam ‘menjajah’ Mesir, bahkan Islam ‘menjajah’ al-Jawi (Indonesia). Demikian pemahaman ini terbentuk.

Dalam realitasnya, kemerdekaan yang dimaksud bukanlah dalam konteks freedom (kebebasan). Sebab, dominasi atas pihak lain untuk meninggikan martabat pihak yang didominasi, tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah penjajahan. Tetapi, definisi penjajahan yang tepat adalah dominasi dari pihak tertentu hingga mengakibatkan eksploitasi atas pihak lain. Jika penjajahan adalah lawan dari kemerdekaan, maka penjajahan adalah bentuk dominasi satu pihak kepada pihak lain hingga terjadinya eksploitasi atas pihak yang didominasi. Artinya, penjajahan itu bukan soal dominasi. Tetapi soal “dominasi yang mengakibatkan eksploitasi”. Inilah definisi penjajahan (isti’mar) yang sahih dan sesuai realitas.

Oleh karena itulah, dominasi militer, politik, ekonomi, dan budaya terhadap pihak lain untuk dieksploitasi adalah bentuk penjajahan. Tetapi dominasi atas pihak lain (dalam segala bidang), bukan untuk dieksploitasi, namun untuk diangkat martabatnya ke arah yang lebih mulia, tidak bisa disebut dengan penjajahan.

Dominasi Portugis terhadap Maluku pada tahun 1511-1526 (selama 15 tahun), disebut dengan penjajahan. Sebab, dalam kurun waktu itu pribumi kepulauan Nusantara dieksploitasi sumber daya alamnya, dirampas untuk kemudian dijadikan barang dagangan orang-orang Eropa.

Adanya eksploitasi terhadap pribumi Nusantara waktu itu ditunjukkan dengan adanya penolakan yang berujung pada perlawanan rakyat terhadap Portugis, seperti yang dilakukan rakyat Minahasa, rakyat Malaka, rakyat Aceh, dan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Khairun dan putranya Sultan Baabullah. Bahkan, Adipati Yunus (Sultan Demak) pun turut mengirimkan ekspedisi jihad ke Malaka untuk membantu Kesultanan Malaka melepaskan diri dari penjajahan Portugis.

Begitu pula dengan dominasi Spanyol atas Nusantara, juga bisa dikatakan sebagai penjajahan. Sebab, yang terjadi adalah eksploitasi atas sumber daya rakyat di kepulauan Nusantara. Keberadaan mereka pun mendapat perlawanan sengit dari rakyat Minahasa dan Maluku. Sekali lagi, alasannya adalah soal eksploitasi. Lebih buruk lagi, kedua penjajah ini (Portugis dan Spanyol) justru menjadikan Maluku sebagai ajang perebutan daerah koloni (jajahan).

Inggris, negara yang dianggap ‘penjajah yang baik’ oleh sebagian pihak karena dianggap turut membangun wilayah jajahan, sebenarnya juga merupakan penjajah yang busuk. Kenyataan ini bisa dilihat dari kebijakan yang diterapkan Inggris ketika menetapkan sistem sewa tanah (landrent). Jadi, keberadaan Inggris di Nusantara adalah untuk menguasainya, kemudian merampas tanahnya dari rakyat pribumi, lalu menyuruh rakyat pribumi menyewa tanah hasil rampasan Inggris (yang notabene adalah tanah pribumi sendiri). Ini juga merupakan kolonialisasi Inggris atas Indonesia.

Yang paling parah, tentu dominasi Belanda dan Jepang atas Indonesia. Kedua negara ini tidak dipungkiri telah mendominasi dan mengeksploitasi Indonesia sampai pada taraf yang sangat keji. Bukan hanya sumber daya alam yang dieksploitasi, tetapi juga sumber daya manusianya. Siapa yang bisa mengingkari kenyataan ini? Bahkan dunia pun mengakuinya.

Namun, berbeda dengan dominasi kaum muslim atas tanah Syam, sesaat setelah wafatnya Rasulullah saw. Dominasi kaum muslim atas wilayah Syam justru adalah dominasi untuk mengangkat martabat mereka (orang-orang Syam) ke arah yang lebih tinggi, mulia, dan terhormat. Sebab, yang dilakukan kaum muslim terhadap Syam adalah futuhat (pembebasan), bukan isti’mar (penjajahan).

Apa perbedaan antara futuhat dan isti’mar? Futuhat bisa diartikan pembebasan atau pembukaan. Pembukaan, maksudnya adalah membuka akal manusia yang selama ini tertutup oleh kabut kekufuran. Sedangkan pembebasan, maksudnya adalah membebaskan wilayah yang ditaklukkan dari penjajahan pihak lain. Jadi, realitasnya futuhat adalah ajakan untuk memeluk Islam dan menjadi bagian dari perlindungan Islam. Sedangkan isti’mar (penjajahan) tujuannya hanya satu, yaitu eksploitasi atas pihak yang dijajah. Jadi, motif dan tujuannya memang jelas berbeda.

Motif dan tujuan yang berbeda, tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi Kapitalisme, telah membuat ideologi ini menganut prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagi negara penganut ideologi Kapitalisme, penipuan, kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah dianggap sah dalam rangka mencapai tujuannya. Namun semua ini selalu ditutupi dengan dalih penyelamatan umat manusia, penegakan HAM, atau menjaga keamanan dunia. Tidak mengherankan kalau sejarah Kapitalisme dunia selalu diisi dengan dengan darah dan air mata dari rakyat negara yang dijajah. Tidak heran pula, jika isti’mar selalu membuahkan perlawanan rakyat.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah swt. Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka terlebih dulu memeluk Islam (dakwah). Kalau rakyat pribumi tidak mau masuk Islam, mereka ditawari masuk dalam kekuasaan khilafah (pemerintahan Islam) seraya membayar jizyah, meski pun mereka tetap pada agama mereka. Jadi, dalam Islam, perang merupakan pilihan terakhir. Lagipula perang dalam rangka futuhat bukanlah untuk memerangi rakyat setempat, tetapi adalah untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik, misalnya penguasa zalim mereka yang menghalangi diterimanya Islam oleh rakyat pribumi. Sebab, seringkali penghalang terbesar datangnya hidayah adalah karena faktor penguasanya.

Sekali lagi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi. Ini tidak terjadi pada masa dominasi Islam atas berbagai wilayah di dunia. Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan turut menjadi pembela negara Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang yang membela agama atau negaranya (ketika masih menjadi bagian dari kekuasaan Khilafah Islam). Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkan eksistensinya?

Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara Barat imperialis. Hampir sebagian besar orang di dunia menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapan pun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan tetap menganggap Inggris sebagai penjajah. Italia pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan sekarang adalah bukti yang nyata. Rakyat Irak, meskipun mereka tidak setuju terhadap rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, bukan berarti mereka menerima Amerika Serikat. Negara super power ini tetap saja dianggap sebagai penjajah. Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan, dan mereka adalah yang diuntungkan dengan hadirnya negara imperialis itu di Irak.

Ironi Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 1945 dianggap sebagai hari dimana rakyat Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Dari sejak tanggal tersebut sampai sekarang (69 tahun), kemerdekaan Indonesia selalu diperingati dengan sangat meriah. Seolah-olah Indonesia benar-benar telah merdeka, lepas dari bentuk dominasi dan eksploitasi dari bangsa lain. Namun realitas sesungguhnya menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Justru saat ini dominasi dan eksploitasi bangsa lain atas Indonesia tetap terjadi, hanya saja dalam bentuk yang lain.

Dominasi dan eksploitasi asing itu terlihat dari diterapkannya ideologi Kapitalisme-Sekular dan eksploitasi sumber daya alam dengan mengatasnamakan kerja sama dan hubungan diplomatik. Ideologi Kapitalisme-Sekular telah mendominasi negeri ini dari sejak negara ini pertama kali dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ideologi ini dijadikan dasar bagi setiap kebijakan penguasa yang berkuasa, baik itu di era Orde Lama, Orde Baru, maupun di era Reformasi saat ini. Ideologi ini dijadikan dasar untuk menghasilkan berbagai keputusan politik (pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, politik dalam negeri, politik luar negeri, sektor pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) yang menyangkut kebijakan strategis negara. Ini terus digunakan sampai sekarang. Kalaupun ada perubahan-perubahan politik, itu hanyalah modifikasi saja. Tetapi hakikatnya tetap sama, yaitu Kapitalis-Sekular.

Dari sisi eksploitasi, sumber daya alam dan sumber daya manusia negeri ini benar-benar telah dirampas oleh pihak asing. Kekayaan alam negara Indonesia lebioh banyak mengalir ke luar negeri daripada menghidupi rakyatnya sendiri di dalam negeri. Contohnya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, UU KDRT, dan sebagainya. Ini belum termasuk regulasi lain seperti Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan lain-lain yang turut mengokohkan berbagai regulasi yang bersifat eksploitatif itu. Inilah bentuk eksploitasi bangsa lain terhadap rakyat Indonesia. Dominasi dan eksploitasi, bukan dalam bentuk militeristik, namun lebih bersifat politik. Jadi, sungguh sangat ironis jika Indonesia masih mengaku sebagai negara yang merdeka, sementyara Indonesia masih berada dalam cengkeraman pihak asing.

Kemerdekaan Hakiki

Penjajahan adalah dominasi yang mengakibatkan eksploitasi. Karena itu, di dalam penjajahan ada pengekangan alias kontrol. Kontrol dari pihak tertentu kepada pihak lain, dengan tujuan untuk mengkesploitasi segala potensi yang dimiliki. Ini berlawanan dengan kemerdekaan dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada selain Allah, menuju kepada penghambaan hanya kepada Allah. Definisi inilah yang menjadi dasar bagi kaum muslimin untuk membebaskan bangsa lain sebagaimana yang dikatakan oleh Saad bin Abu Waqqas ra. saat berhadapan dan menjawab pertanyaan Panglima Perang Persia, Rustum pada Perang Qadisiyah. Waktu itu Saad bin Abu Waqqash ditanya, “Apa alasan kalian memerangi kami?” Saad bin Abu Waqqas menjawab, “Untuk membebaskan kalian dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah SWT.”

Jadi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi. Dan kemerdekaan bukanlah soal kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi kemerdekaan adalah terbebasnya manusia atau sekelompok manusia (rakyat) dari penghambaan kepada manusia, menuju penghambaan hakiki kepada pencipta manusia, yaitu Allah swt.

Wallahu a’lam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline