Lihat ke Halaman Asli

Kritik-Kritik Hizbut Tahrir

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini tidaklah mewakili institusi. Tetapi tulisan ini murni pendapat pribadi. Tulisan ini adalah kesimpulan dari apa yang diajarkan Hizbut Tahrir. Tulisan sederhana ini sekedar luapan isi pikiran atas tuduhan-tuduhan yang terkesan emosional, yang ditujukan kepada jamaah Hizbut Tahrir. Tulisan ini mencoba mendudukkan persoalan pada tempatnya, dimana Hizbut Tahrir memiliki suatu pemahaman, dan dengan pemahamannya itulah segala pandangan terhadap realitas terpancarkan.

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam di bawah naungan khilafah Islam. Dalam perjuangannya, Hizbut Tahrir menempuh perjuangan untuk mengubah masyarakat, dari yang semula belum Islami menjadi masyarakat Islami. Dengan masyarakat Islami itulah, maka seluruh sendi-sendi kehidupan Islam akan terwujud. Sendi-sendi kehidupan Islam yang dimaksud ada tiga aspek, yaitu aspek hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Allah) yang meliputi akidah dan ibadah; lalu aspek hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi akhlak, makanan-minuman, dan pakaian; serta aspek hubungan manusia dengan sesamanya yang meliputi kehidupan sosial, politik pemerintahan, ekonomi, pendidikan, keamanan, kesehatan, dan sebagainya. Jadi, pergerakan dakwah Hizbut Tahrir adalah pada ranah perubahan masyarakat, bukan perubahan individu.

Ada dua pandangan tentang masyarakat. Pandangan pertama menganggap bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang mendiami tempat tertentu dan memiliki tujuan yang sama. Sementara pandangan yang kedua, masyarakat adalah sekumpulan individu mendiami suatu tempat yang diikat dengan pemikiran tertentu, perasaan tertentu, dan sistem tertentu. Dengan adanya perbedaan pandangan seperti ini, maka akan berbeda pula dalam memahami cara mengubah masyarakat.

Pada pandangan yang pertama, perubahan masyarakat hanya dipahami dari perubahan individu-individu. Jika tiap-tiap individu telah menjadi Islami, maka hal itu akan menghasilkan masyarakat yang Islami. Jadi, perubahan itu hanya cukup pada tataran individu-individu saja. Perubahan individu, ditandai dengan perubahan pada hal-hal yang melekat pada individu. Apa saja hal-hal yang melekat pada individu? Yaitu meliputi akidah, ibadah, makanan-minuman, pakaian, dan akhlak. Jika hal-hal seperti ini sudah Islami, maka akan dinilai sebagai masyarakat yang Islami.

Sementara pada pandangan yang kedua, perubahan masyarakat tidak cukup dipahami dari perubahan individu, melainkan harus ada perubahan hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut. Apa saja hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut? Hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut tidak lain adalah pemikiran, perasaan, dan sistem yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Karena itu, selain individu-individunya sudah Islami, maka pemikiran yang diterapkan di tengah-tengah mereka, perasaan, serta sistem politik yang ada, juga harus Islami. Inilah yang menjadi pandangan Hizbut Tahrir.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, perubahan individu, tidak serta merta akan mengubah kondisi masyarakat. Individu yang baik, ditambah individu yang baik lagi, kemudian ditambah puluhan bahkan ratusan hingga ribuan individu yang baik lagi, belum tentu akan menghasilkan masyarakat yang baik. Kenapa bisa dikatakan belum tentu? Sebab, yang berubah hanya individu-individunya saja. Sementara hal-hal yang mengikat individu satu dengan individu yang lainnya, tidak berubah.

Karena yang berubah hanya individu, maka perubahan itu hanya berkisar pada hal-hal yang melekat pada individu. Sementara pemikiran, perasaan, dan sistem yang ada, tidak berubah sama sekali. Jadi, kalau individu-individu itu sudah memiliki akidah Islam, tata cara peribadatannya juga sudah bagus, pakaiannya mengikuti sunah rasul, makanan dan minumannya jauh dari yang haram, akhlaknya juga sangat dijunjung tinggi; tetap saja tidak akan dikatakan sebagai masyarakat Islami, jika sistem yang mengikat individu-individu itu masih berupa sistem yang tidak Islami, misalnya politiknya demokrasi atau otokrasi, sistem ekonominya liberal atau ekonomi sosialis, bersahabat dengan negara kafir harbi, menjadikan hak legislasi itu kepada manusia (kedaulatan di tangan manusia), dan sebagainya.

Berdasarkan pandangan di atas, perubahan-perubahan yang terjadi di dunia Islam, harus dibarengi dengan perubahan-perubahan pemikiran, perasaan, serta sistem; bukan hanya perubahan individu saja. Ketika perubahan itu terjadi, maka konsekuensinya adalah terjadi perubahan menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan. Tidak bisa dilakukan secara bertahap. Ketika terjadi perubahan masyarakat, dari masyarakat yang tidak Islami menuju masyarakat yang Islami, ditandai oleh satu peristiwa besar yaitu tidak diakuinya lagi pemikiran, perasaan, dan sistem lama (selain Islam); serta diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan.

Namun jika yang diterapkan adalah setengah-setengah atau bertahap (misalnya perubahan individu terlebih dahulu, sementara perubahan masyarakat belakangan), maka tetap saja masyarakat tidak bisa dikatakan berubah, sebab yang berubah adalah individu-individu.

Dalam konteks inilah Hizbut Tahrir mengkritisi berbagai hal yang terjadi di dunia Islam, yaitu konteks perubahannya, apakah itu perubahan individu ataukah perubahan masyarakat; serta apakah penerapan Islam itu secara menyeluruh atau setengah-setengah. Tetapi hal ini rupanya telah memicu kesalahpahaman di antara kaum muslim. Sebagian dari mereka bahkan melakukan caci maki yang tidak perlu, dikarenakan ketidakpahaman atas diri mereka.

Contohnya adalah peristiwa naiknya Dr. Muhammad Mursy menjadi presiden Mesir. Beliau adalah seorang aktivitas dakwah, pejuang Islam dari jamaah dakwah Ikhwanul Muslimin. Beliau seorang penghafal Al-Quran. Selalu salat berjamaah di masjid. Jika kita melihat persoalan ini dari sisi perubahan individu, tentulah kita akan menilai bahwa hal tersebut adalah suatu nilai yang positif dan membanggakan. Sebab, seorang individu muslim yang sangat Islami bisa menjadi kepala negara. Tetapi jika dinilai dari konteks perubahan masyarakat, tentu hal tersebut tidak akan banyak berpengaruh. Hal-hal yang melekat pada masyarakat (pemikiran, perasaan, dan sistem) tetap sebagaimana adanya, sama seperti ketika beliau belum memimpin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline