Kamis, 8 Agustus 2024, Yayasan Matauli melalui Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Barus dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggelar Seminar Nasional bertema "Barus: Refleksi Literasi Sejarah dan Moderasi Beragama di Indonesia".
Secara luring kegiatan dipusatkan di auditorium Perpusnas RI Gedung Plaza Perpusnas Lantai 2 dengan menghadirkan keynote speaker Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdani, S,TP, MT (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama) mewakili Menteri Agama.
Hadir selaku nara sumber beberapa pakar dan guru besar seperti Prof. Dr. M. Yunan Yusuf Tanjung, M.A (Ketua STAI Barus), Prof. Dr. H.M. Jamil, M.A (Guru Besar UIN Sumatra Utara), Dr. Herry Jogaswara (Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN) dan Dr. Adin Bondar, M.Si (Deputi Bidang Pengembangan Perpustakaan Perpusnas RI). Adapun Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A diwakili memaparkan materinya.
Selain itu, masih ada Albert M. Simbolon, OFMCap (Pastor Kepala Paroki ST. Fransiskus Assisi Pangaribuan) yang memaparkan materi secara daring via zoom meeting. Seminar yang dipandu oleh Dr. Zakaria Lubis dari Perpusnas RI ini juga dipublikasikan secara luas melalui chanel PAPPBB PERPUSNAS RI.
Kolaborasi beberapa lembaga dan pakar dalam satu kegiatan ini sejatinya bukan hanya melacak jejak tradisi sejarah tetapi juga moderasi beragama, sekaligus titik nol peradaban Islam di Indonesia. Penulis yang awalnya mengikuti kegiatan melalui zoom meeting kemudian berpindah ke chanel PAPPBB PERPUSNAS RI karena terkendala kualitas jaringan. Penulis lalu berhipotesa bahwa jika benar Barus adalah titik nol masuknya Islam atau titik nol peradaban Islam di Indonesia, maka awal pertumbuhan Islam di Indonesia memang bermula dari sebuah daerah yang kental dengan semangat moderasi beragama.
Hal ini pun terbukti hingga kini dengan harmonisasi beberapa penganut agama dan keyakinan berbeda di Barus dan Sumatra Utara secara umum. Hal ini bisa terjadi jika umat dari agama dan keyakinan berbeda itu memahamai bahwa moderasi beragama adalah sikap keberagamaan yang memang ditujukan untuk mencipatakan harmonisasi sebagaimana harapan Sekjend Kemenag, Prof. Muhammad Ali Ramdani. Moderasi beragama bukan bertujuan merubah esensi ajaran masing-masing agama yang memang sudah bersifat final tetapi mengarah pada perubahan sikap beragama yang lebih inklusif.
BRIN: Pembelajaran dari Penemuan Artefak
Usaha Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melacak jejak tradisi sejarah dan moderasi beragama di Barus dan secara umum di pesisir Barat Sumatra patut mendapat apresiasi. Berdasarkan pemaparan Dr. Herry Jogaswara dari BRIN maka sesungguhnya pertemuan agama-agama di Barus dan Sumatra bukan hanya antara Islam, Katolik, Protestan tetapi juga Hindu. Hal ini di antaranya dibuktikan dengan penemuan kepala arca Wisnu dan kepala arca Siwa.
Lalu apa pembelajaran yang didapatkan dari penemuan artefak-artefak tersebut? Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra BRIN ini menguraikan beberapa hal: pertama, relasi pertukaran Barus dengan wilayah sekitar Sumatra-Jawa; regional (Vietnam-Thailand), China dan Global (Timur Tengah, Persia dan Jazirah Arab); kedua, pertukaran tidak hanya "benda" tetapi juga ideologi, nilai-nilai dan tradisi sehingga memperlihatkan bagaimana pembentukan peradaban terkandung di dalamnya relasi antar etnis dan iman, sehingga sikap moderasi beragama terbentuk dalam proses yang menyejarah; dan ketiga, relasi pertukaran juga memperlihatkan posisi Barus dan pantai Barat Sumatra yang bukan sekadar "terdampak proses globalisasi" tetapi "mempengaruhi proses global" dengan ditemukannya berbagai sebutan untuk (kapur) Barus di berbagai tempat.
Lalu apakah fakta di atas menunjukkan bahwa BRIN telah puas melacak jejak sejarah di Barus, Herry Jogaswara memaparkan lebih lanjut agenda-agenda riset mereka di beberapa titik eskavasi hingga ke Pantai Barat Sumatra. Menurutnya ini untuk memperkuat penetapan Barus sebagai Titik Nol KM Islam di Nusantara. Hal ini dapat dilakukan melalui platform riset kolaboratif jangka panjang (5-7 tahun), sistematis dan multidisiplin untuk memperkuat narasi-narasi relasi Barus dengan wilayah sekitarnya bahkan cara pandang "Nusantara sebagai sumber yang mempengaruhi globalisasi" dan bukan yang sekadar "terdampak globalisasi".