Sepekan sebelum babak final Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, cuaca politik makin memanas. Menyerang dan bertahan atau menyerang balik menjadi strategi pilihan masing-masing tim pengusung kandidat. Tetapi jika digeneralisasi, pasangan yang paling banyak mendapat serangan adalah kubu Prabowo-Gibran. Figur yang menjadi kekuatan pendukung utama pasangan ini yaitu Jokowi pun tidak terlepas dari sorotan, mulai dari yang sifatnya murni kritik atau yang sudah berbentuk petisi.
Serangan terbaru kembali menerpa pasangan ini pasca Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan keputusan tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum terkait diterimanya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Ada pula pihak yang melaporkan Gibran ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Bagaimana semua isu ini dikemas dalam satu tulisan? Kami mencoba menyajikannya secara kronologis dan kausalitas sesuai prinsip dasar sejarah.
Kritik dan Petisi Beruntun Akademisi
Kritik dimaksud sesungguhnya telah dilancarkan beberapa bulan berselang oleh mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi seperti yang sudah pernah kami sajikan dalam beberapa tulisan berselang. Bedanya kali ini bukan lagi mahasiswa yang melancarkan kritik dan protesnya tetapi telah menjalar ke kalangan akademisi di beberapa kampus.
Sepekan terakhir ini akademisi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah melayangkan petisi secara beruntun mengkritisi pemerintahan Jokowi. Dimulai dari almamater Presiden Jokowi sendiri yakni Universitas Gajah Mada pada 31 Januari 2024. Berturut-turut kemudian dari tanggal 1-2 Februari 2024 petisi dilancarkan oleh Universitas Islam Indonesia, Universitas Khairun Ternate, Universitas Hasanuddin, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Sunan Kalijaga, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Atmajaya dan Universitas Muhamamdiyah Bangka Belitung.
Pantauan Kompas.com (6/2/2024) antara 31 Januari 2024-5 Februari 2024 terdapat 30 kampus di seluruh Indonesia yang melontarkan kritik terhadap Presiden Jokowi. Akademisi perguruan tinggi seluruh Indonesia ini mengeluarkan petisi terkait kekhawatiran mereka akan masa depan demokrasi di Indonesia. Meski demikian, ada pula sekelompok kecil akademisi yang membuat petisi tandingan yang menyatakan bahwa keadaan Indonesia baik-baik saja.
Demokrasi Diuji Intrik
Di bagian Timur Indonesia, akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sekaligus anggota Forum Dosen Sulawesi Selatan, Adi Suryadi Culla termasuk yang banyak menunjukkan kekhawatirannya tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Ia bahkan sempat menyerahkan buku berjudul Demokrasi dan Masa Depan Kedaulatan Indonesia di sela-sela peluncuran buku yang kami tulis bersama beberapa penulis dan akademisi di Sulawesi Selatan. Penulis yang tergabung dengan grup WA yang sama dengan beliau mencoba menyimpulkan pemikiran mantan Komisioner KPUD Sulsel dan Pusat ini. Penulis lalu menemukan satu frase yang sekaligus merupakan judul salah satu artikel beliau di harian Fajar berjudul "Demokrasi Diuji Intrik."
Demokrasi Sedang Sakit dan Terancam
Adapun frase "Demokrasi Sedang Sakit" penulis temukan dari kekhawatiran Pakar Hukum Universitas Negeri Makassar, Prof. Heri Tahir. Menurutnya, rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya yang berkaitan dengan pemilu, seolah memberi kabar bahwa demokrasi Indonesia sedang sakit. Artinya ada yang tidak sehat di ranah ini. Anggota Forum Dosen lainnya, Hasrullah menegaskan bahwa wajar jika belakangan ini banyak sikap dari pakar dan akademisi, terkait dengan kritik demokrasi. Sebab, mereka semua menganggap bahwa demokrasi Indonesia tengah terancam. Demikian diktuip dari harian Fajar (6/2/2024).