Lihat ke Halaman Asli

Agussalim Ibnu Hamzah

Historia Magistra Vitae

Wacana Tolak Politik Dinasti dan Pelanggaran HAM hingga Pemakzulan Presiden

Diperbarui: 19 Januari 2024   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi Kompas Petang tentang wacana pemakzulan (video Kompas.com)

Saya tertarik mengulas materi di atas setelah menyimak beberapa konten youtube tentang beberapa aksi mahasiswa menolak politik dinasti. Terkesan sporadis memang, dan bisa dikatakan tidak akan memberi efek tekanan apalagi secara politis. Sebagai mantan fungsionaris mahasiswa, spontan saya terpancing bernostalgia dengan era 1997-2000. Kita mungkin masih ingat bagaimana panasnya situasi politik di periode ini. Bukan hanya Presiden Suharto saat itu yang menjadi sasaran kritik mahasiswa, tetapi juga Presiden Abdurrahman Wahid. Kedua presiden ini kemudian berakhir masa pemerintahannya melalui mekanisme yang berbeda. Presiden Suharto yang memutuskan mengundurkan diri dan Presiden Abdurrahman Wahid yang dilengserkan oleh mekanisme politik di legislatif.

“Kecil, sporadis, tidak memberi tekanan berarti”, mungkin ini yang disimpulkan beberapa kalangan saat melihat gerakan mahasiswa menolak politik dinasti dan pelanggaran HAM saat ini. Tetapi bagi saya, ini menjadi semacam “warm up” atau pemanasan yang harus diperhatikan oleh pemerintahan saat ini, terlebih oleh pemerintahan selanjutnya yang terpilih.

Selebaran, Pamflet dan Orasi

Cara ini juga sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh senior-senior aktivis hari ini. Aktivis lintas zaman juga melakukan aksi yang sama, sebut saja eksponen ‘66 yang berusaha menumbangkan Orde Lama dan eksponen ‘98 yang berhasil menumbangkan Orde Baru. Cara-cara di atas bukan hanya berusaha memberikan pendidikan bagi masyarakat yang menjadi sasaran penyadaran mereka, tetapi juga untuk meyakinkan komponen mahasiswa lainnya akan adanya bahaya bersama di depan mata mereka. Sekali lagi menurut saya, ini menjadi pemanasan akan bangkitnya kembali kekuatan mahasiswa.

Mahasiswa di Surabaya membagikan pamflet kepada pengguna jalan (sumber: video Kompas.com)

Mulai Melibatkan Aktivis dari Berbagai Perguruan Tinggi 

Ini pola kedua yang mulai terlihat. Saya mulai melihat aktivis dengan jas berwarna merah di Surabaya yang menggelar aksi membagikan pamflet. Salah seorang di antaranya dengan lantang menyatakan penolakannya terhadap politik dinasti. Ia bahkan menyatakan politik dinasti harus dihancurkan. Dalam pantauan Kompas.com, aksi yang sama telah menyebar di 899 kampus di 35 provinsi dan melibatkan lebih dari 14 ribu mahasiswa. Saya jadi ingat betul dengan aksi ’98 yang kemudian menjelma menjadi gelombang besar tak terbendung. Paling tidak, beberapa kampus yang mahasiswanya turun ke jalan membagikan pamfet atau berorasi menolak politik dinasti dan pelanggaran HAM seperti UIN Syarif Hidayatullan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Merdeka, Malang.

Kesimpulan Aktivis ’98 tentang Bahaya Politik Dinasti

Wacana politik dinasti yang mencuat sejak menjelang Pilpres 2024 ini ikut memancing Gerakan Aktivis (Gerak) 98 melakukan diskusi kebangsaan pada 17 Januari 2024. Beberapa permasalahan diangkat dalam diskusi bertajuk “Diskusi Kebangsaan: Pemilu 2024, Ancaman Demokrasi dan Kejahatan Kekuasaan.” Di antara yang disoroti dalam diskusi ini adalah sikap Jokowi yang dinilai tidak fair sebagai Presiden. Mereka menilai presiden memihak pada salah satu pasangan capres-cawapres. Mereka juga berpandangan bahwa politik dinasti akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Jika dibiarkan, ini dapat menjadi budaya dalam perpolitikan di Indonesia.

Diskusi kebangsaan yang digelar oleh aktivis 98 (sumber: video Official iNews)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline