Lihat ke Halaman Asli

Agussalim Ibnu Hamzah

Historia Magistra Vitae

Pesan Sejarah dan Pahlawan dari Padang untuk Pemimpin Masa Depan

Diperbarui: 16 November 2023   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nara sumber Dr. Sumardiansyah (tengah) bersama Dr (cand.) Hendra Nadil (kiri) dan moderator,  Putri Fadhilah Azzahra (kanan) (sumber: Pribadi) 

Judul di atas sangat tepat untuk menyimpulkan hasil seminar dan webinar yang diselenggarakan pada Rabu, 15 Nopember 2023. Acara yang menampilkan beberapa nara sumber lokal dan nasional ini diselenggarakan oleh Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang (UNP). Pembicara yang hadir langsung secara offline adalah Dr (cand.) Hendra Naldi, S.S, M. Hum (Dosen Sejarah UNP) dan Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma (Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia), sedangkan nara sumber secara online adalah Drs. La Malihu, M. Hum (Dosen Sejarah Universitas Negeri Makassar yang sedang mengambil Program Doktor di Universitas Indonesia). Hadir pula memberikan sambutan secara online adalah Dr. Zulkarnain (Ketua Perhimpunan Program Studi Sejarah se Indonesia).

Dr. Zulkarnain yang tampil pertama memberikan sambutan di antaranya menyinggung bahwa di Sumatra Barat banyak pahlawan sosok pemersatu yang patut ditiru, seperti Moh. Hatta dan Moh. Natsir. Tak lupa ia menyinggung bahwa mereka menjadi tokoh-tokoh besar yang banyak membaca buku sejarah, baik itu yang ditulis oleh kawan maupun lawan.

Dr. Zulkarnain (Sumber: Pribadi) 

Sejalan dengan pesan Ketua P3SI, Dekan FIS UNP, Afriya Khaidir, S.H, M.Hum, MAPA, Ph.D menambahkan bahwa yang terpenting dari sosok-sosok pahlawan adalah nilai yang mereka wariskan. Nilai dimaksud adalah nilai kepahlawanan (heroism) misalnya ketika mereka tidak lagi berpikir tentang diri mereka sendiri tetapi berpikir tentang orang lain. Ia memberi contoh seorang bidan yang melayani orang melahirkan di atas perahu. Padahal ia bisa saja menunggu di rumahnya. Ia juga menyinggung cara Surabaya mewariskan nilai-nilai kepahlawanan dengan mengadakan reka ulang Pertempuran Surabaya khususnya di Jembatan Merah. Menurutnya, jembatan itu sesungguhnya tidak berwarna merah tetapi menjadi merah setelah dilumuri darah pada pemuda Surabaya yang terluka dan gugur dalam peristiwa heroik di kota Surabaya.

Memahami Dimensi Kepahlawanan

Dr (cand.) Hendra Naldi, S. S, M. Hum menjadi pembicara yang mengisi sesi pertama secara offline. Dipandu oleh Putri Fadhilah Azzahra (Walikota HMD Sejarah FIS UNP), ia memberi pesan bahwa ada empat dimensi kepahlawanan yang harus dipahami dan diwariskan nilainya untuk kepemimpinan di masa depan. Dimensi tersebut adalah (1) Heroik atau Patriotik; (2) Nasionalisme; (3) Rela Berkorban, dan (4) Membela Kebenaran. Hendra lalu mengurai satu persatu dimensi kepahlawanan dimaksud.

Pertama, heroik atau patriotik merupakan semangat juang untuk tidak mau dijajah. Ia lalu mengenang momen perjuangan Tim Nasional (Timnas) di Surabaya yang berhasil menahan imbang lawan dalam Piala Dunia U-17, meski dengan teknik bermain yang tidak terlalu baik. Ia lalu menghubungkan heroiknya mereka seperti pemuda-pemuda di Surabaya yang meski dengan senjata seadanya berhasil merepotkan Sekutu yang merupakan pemenang Perang Dunia II. Ia mengisahkan bagaimana kepemimpinan Bung Tomo yang mampu menggerakkan ribuan pemuda di Surabaya dengan teriakan "Allaahu Akbar." Teriakan inilah yang kembali menggema di Gelora Bung Tomo saat Timnas U-17 menahan imbang Panama. Bedanya bukan hanya takbir yang menggema tetapi juga shalawat yang dilantunkan oleh ribuan supporter Timnas di kota pahlawan. Akhirnya meski dengan skill yang tidak terlalu hebat, mereka dapat memperlihatkan hasil yang sangat patriotik. Pahlawan selanjutnya yang disinggung adalah Syafruddin Prawiranegara dari Sumatra Barat dan kepahlawanan sang istri. "Sang Presiden" Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) membiayai hidupnya saat menjadi Presiden PDRI di era Agresi Militer Belanda II (1949) melalui hasil penjualan emas sang istri yang tetap rela bekerja sebagai penjual gorengan.

Kedua, nasionalisme yang dalam konteks keindonesiaan, nation state kita terbentuk karena dipersatukan unsur historis yang sama. Ia lalu menekankan bahwa nation state Indonesia tidak boleh melupakan nilai-nilai kultural. Maksudnya masing-masing kita tetap membawa nilai kultural yang membentuk nasionalisme berbasis Bhineka Tunggal Ika. Perumpamaannya seperti makanan gado-gado yang semua elemen pembentuknya dapat dirasakan kehadirannya, termasuk yang non-pribumi sekalipun.

Ketiga, rela berkorban. Ini juga nilai yang harus diwariskan dan dikembangkan. Sebagai contoh seorang Bung Hatta yang tidak sempat memikirkan pernikahan karena sibuk memikirkan bangsanya.

Keempat, membela kebenaran yaitu dengan tegas menyatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Sebagai contoh sosok pahlawan besar kita yang rela ditangkap dan dibuang karena membela kebenaran, misalnya Bung Karno dan Bung Hatta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline