Lihat ke Halaman Asli

Agussalim Ibnu Hamzah

Historia Magistra Vitae

Sosok Penting di Balik Dukungan Internasional terhadap Kemerdekaan Indonesia (1945-1950)

Diperbarui: 27 September 2023   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan perwakilan KTN dengan Sukarno (kompas.com)

Sudah lebih sebulan lalu bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-78 (1945-2023). Meski demikian bukan berarti perjuangan sudah menemui garis akhir, sebab di bulan September Sekutu mendarat untuk pertama kali pasca proklamasi kemerdekaan kita. Selanjutnya pada pendaratan kedua di bulan Oktober Sekutu berhasil "mengelabui" pemerintah Indonesia dengan ikut "menyelundupkan" Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang merasa berhak "mewarisi" pemerintahan  pendudukan Jepang di Indonesia. Akibatnya menjadi sangat penting arti dukungan atau pengakuan dari negara lain baik secara de facto ataupun de jure.

Semoga di akhir September ini kita masih sempat mengenang sejenak dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Sekaligus menapaktilasi perjuangan tak kenal putus asa dari para diplomat kita yang mengadakan perjalanan melintasi samudra dan benua, demi mengokohkan posisi kita dalam pergaulan internasional. Selain itu, sangat penting artinya untuk mengukuhkan posisi kita dalam upaya diplomasi menegakkan kemerdekaan dengan pihak Belanda yang tak kunjung mengakui kemerdekaan kita.

Indonesia Menghadapi Dua Kekuatan: Sekutu dan Belanda

Sejenak kita kembali ke masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan. Hanya berselang lebih dari dua bulan setelah detik-detik proklamasi itu, pasukan Sekutu telah mendarat di Tanjung Perak, Surabaya tepatnya pada 25 Oktober 1945. Mereka datang atas nama misi Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI), sebuah misi yang dibentuk oleh Sekutu dengan tugas utama menjaga status quo di Indonesia sebelum diserahkan ke pemerintahan yang akan terbentuk. Hal ini sehubungan dengan kekalahan Jepang oleh Sekutu dalam Perang Dunia II.

Sebelum kedatangan pasukan besar Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, misi pendahuluan telah lebih dulu mendarat sebulan sebelumnya, tepatnya 29 September 1945 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pemerintah Indonesia menyatakan siap bekerja sama dengan catatan tidak ada pasukan Belanda dalam AFNEI.

Para pemuda dan pejuang khususnya di Surabaya sebenarnya sudah curiga di dalam AFNEI akan menyusup kekuatan Belanda. Kecurigaan ini terbukti setelah ditemukan kekuatan Belanda ikut membonceng, dalam hal ini Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedua kekuatan yang kemudian saling menyokong ini ingin menancapkan kekuasaannya di Indonesia, maka meletuslah perlawanan menentang duo kekuatan imperialis ini.

Pendaratan Sekutu yang membonceng NICA di Surabaya (koranmakassar.com)

Bukan hanya di Surabaya, perjuangan melawan Sekutu dan Belanda yang kembali ingin menancapkan kekuasaannya Indonesia terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti Bandung, Ambarawa, Medan, Makassar, hingga Menado. Sekutu yang merasakan sengitnya perlawanan kemudian memutuskan menarik diri, hingga menyisakan Belanda yang mencoba mengokohkan kekuasaannya. Mereka kembali memakai strategi usang mereka devide et impera untuk melemahkan bangsa Indonesia. 

Melalui kekuatan-kekuatan dalam negeri yang bersedia menjadi kolaborator-kolaborator pihak asing, mereka berhasil memaksakan pembentukan negara-negara boneka sambil berusaha mengecilkan posisi Indonesia di luar negeri sebagai negara yang belum pantas untuk merdeka. Mereka menyebarkan opini di luar negeri bahwa bekas Hindia Belanda ini masih membutuhkan mereka untuk mendampingi hingga negara yang baru memproklamasikan kemerdekaannya ini betul-betul bisa berdaulat.

Menghadapi strategi mereka, selain melalui kekuatan bersenjata, tentu saja dibutuhkan perjuangan diplomasi. Kedua strategi perjuangan ini saling mendukung dan kemudian terbukti saat United Nations Commission for Indonesia (UNCI) berhasil mempertemukan delegasi Indonesia dan Belanda di Den Haag dan memaksa Belanda mengakui kedaulatan kita pada 27 September 1949. Maka menjadi sangat penting untuk melakukan napak tilas terhadap misi-misi perjuangan diplomasi kita keluar negeri karena perjuangan mereka ikut menjadi fondasi yang kokoh dan sangat menentukan bagi tegaknya pilar-pilar kebangsaan kita.

Diplomasi Menembus Blokade Ekonomi Belanda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline