Pada rentang waktu abad XVI-XVII ada sebuah kerajaan yang pernah memegang hegemoni di Nusantara bagian Timur terutama di bidang perdagangan. Selain didukung pelaut dan armada yang tangguh, supremasi kerajaan yang bernama Gowa ini terutama karena peran penting pelabuhannya, Somba Opu. Bandar niaga sekaligus ibukota kerajaan ini telah menarik banyak pedagang karena memberikan suasana yang baik, terutama dalam pertukaran barang-barang. Ada rempah-rempah dari Maluku, kain dari India, barang logam, porselen dan sutra dari Cina, perak dari Spanyol atau Mexico dan lada dari Sumatera dan Kalimantan. Begitupun kayu cendana dari Sunda Kecil, beras dari Maros, permata dari Banjarmasin, dan budak dari Buton.
Selain karena suasana yang kondusif, peran Somba Opu juga didukung oleh posisi strategisnya. Pelabuhan ini berada tepat di tengah-tengah antara Batavia dan Kepulauan Maluku, sehingga terkenal sebagai bandar persinggahan untuk memasok kebutuhan awak kapal dari segala bangsa. Hal ini semakin membuat Makassar mulai menggeser dominasi Ternate sebagai penguasa di Nusantara bagian Timur. Kejayaan Makassar ini sampai-sampai menginspirasi Anthony Reid menulis buku Rise of Makassar yang menyebut pencapaian Makassar ini sebagai "salah satu cerita sukses paling cepat dan spektakuler sepanjang sejarah Indonesia."
Keramahan Tidak Melunturkan Ketegasan
Somba Opu sebagai pusat perdagangan telah menjadi kota niaga yang telah berperan secara internasional. Bangsa asing makin banyak mengunjungi Somba Opu, seperti Denmark, Portugis, Inggris, Belanda, Arab, Cina dan India. Adapun orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Johor dan Sumatra yang semakin banyak berdatangan terutama pada masa Raja Gowa XII Karaeng Bonto Langkasa atau Karaeng Tunijallok). Mereka diperbolehkan menetap di Somba Opu, bahkan meski Raja Gowa belum menganut Islam tetapi Raja telah memerintahkan membangun masjid untuk mereka.
Berbeda dengan bangsa yang lain, Belanda melalui persekutuan dagang mereka (VOC) berencana merebut kejayaan orang Makassar di Somba Opu dengan praktik monopoli perdagangan rempah-rempah. Tetapi Belanda bertepuk sebelah tangan, karena bagi Raja Gowa semua bangsa asing sama. Mereka diterima dengan ramah dan diperbolehkan tinggal di daerah kekuasaan Baginda untuk berdagang. Tentu saja asal mereka tidak mengganggu keamanan dan mau mematuhi peraturan-peraturan Kerajaan Gowa. Raja Gowa bahkan tidak mengizinkan mereka bertarung atau berperang di wilayah kekuasaannya. Sikap Raja Gowa tidak berubah meski misi-misi diplomasi Belanda susul menyusul bermaksud membujuk.
Keadaan mulai meruncing saat Belanda meningkatkan tekanan dengan cara memprovokasi, termasuk mulai mengganggu kapal-kapal Makassar yang hendak berdagang ke Maluku. Mereka juga melarang Sultan mengirim beras ke Malaka untuk orang-orang Portugis di sana. Hingga akhirnya, Belanda mulai menunjukkan sikap konfrontasi dengan menutup perwakilan dagangnya di Gowa. Sehubungan dengan penutupan ini, Belanda mengundang beberapa pembesar Gowa menghadiri pesta di atas kapal Enkhuyzen.
Rupanya undangan ini hanya tipuan saja. Ketika pesta sedang berlangsung, para pembesar Gowa itu dilucuti senjatanya. Mereka bahkan ditawan dan dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta). Meski di antara yang ditawan itu ada sanak saudara Sultan, Raja Gowa tetap bersikap hati-hati dan tidak langsung merespon.
Tidak berselang lama setelah dikembalikannya dua sanak saudara Raja Gowa yang ditawan, kapal dagang kompeni Belanda De Eendracht berlabuh di Bandar Somba Opu. Juru mudi bersama 15 orang lainnya turun ke darat setelah mendapat izin dari penguasa pelabuhan. Juru Mudi yang terlihat congkak menyulut api dendam di hati rakyat Gowa. Spontan mereka teringat peristiwa setahun yang lalu di atas kapal Enkhuyzen. Orang-orang Belanda tersebut diserang dan semuanya terbunuh. Sudah bisa ditebak, akibat kejadian ini hubungan antara Gowa dan Belanda makin mencekam.
Meski demikian, Belanda juga tidak gegabah untuk segera mengerahkan kekuatan militernya. Mereka tetap berusaha melakukan pendekatan diplomasi, bahkan hingga lima tahun pasca peristiwa De Eendracht. Tepatnya pada 1621 misi diplomasi mereka tiba di istana Kerajaan Gowa. Permintaan mereka lagi-lagi ditolak oleh Raja Gowa, Sultan Alauddin.