Lihat ke Halaman Asli

Agussalim Ibnu Hamzah

Historia Magistra Vitae

Sora-Wijaya: Keselamatan Prajurit Lebih Penting daripada Kepentingan Pribadi

Diperbarui: 13 September 2022   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Raden Wijaya bersama Lembu Sora dan Ranggalawe. Sumber: Tutur Tinular (1997)

Kitab Pararaton bagian VI-VII menceritakan kesetiaan dan kepahlawanan para perwira dan prajurit-prajurit Singasari saat menghadapi pasukan Jayakatwang dari Kediri---Pararaton menyebutnya Daha.

Di antara perwira yang disebut dalam Pararaton adalah Sora---dalam serial Tutur Tinular disebut Lembu Sora. Perwira ini menyertai Raden Wijaya bersama perwira lainnya yakni Banyak Kapuk, Ranggalawe, Dangdi, Gajah Pagon, Nambi, Peteng dan Wirot disertai prajurit-prajurit Singasari. Mereka ditugaskan menyongsong pasukan Kediri yang menyerang dari arah Utara. Mereka berhasil memukul mundur musuh. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa pasukan inti Kediri justru menyerang dari Selatan dengan dipimpin langsung oleh rajanya, Jayakatwang---dalam Pararaton ditulis Jayakatong. Istana yang tidak dikawal ketat akhirnya jatuh ke tangan pengkhianat. Kertanegara yang tengah mabuk minuman keras, bahkan tewas bersama patihnya.

Raden Wijaya yang sedang mengejar musuh diberitahu tentang jatuhnya istana dan tewasnya raja. Ia bersama perwira dan prajurit Singasari kembali ke istana mengadakan serangan balasan. Tetapi musuh terlalu kuat. Justru mereka yang dikejar oleh musuh di bawah pimpinan Patih Daha, Kebo Mundarang.

Saat mereka terkejar musuh, Wijaya segera membagikan kain girinsing kepada pengikutnya. Ini pertanda mereka akan mengamuk melawan musuh. Mereka yang mendapat pembagian kain adalah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gajah Pagon.

Sora yang mulai menerjang musuh. Setelahnya, ia menyemangati Wijaya untuk menyerang. Dituliskan dalam Pararaton: "Sora menerjang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: ...sekarang Tuanku yang menyerang. Sekarang saatnya yang bagus." Mendengar itu Wijaya menyerang. Semakin banyak orang-orang Daha yang mati. Mereka yang selamat kemudian mundur karena sudah malam dan membuat perkemahan.

Dikisahkan kemudian pada malam harinya, Wijaya beserta perwira dan prajuritnya menyerang perkemahan musuh. Ini menyebabkan pasukan Daha bercerai-berai, hingga banyak yang terkena tombak temannya sendiri. Pasukan Daha kebingungan karena Wijaya dan pasukannya mengamuk, hingga terlihat ada cahaya terang dari arah pasukan Daha. Wijaya segera melihat istri tuanya. Ia berhasil membebaskannya dari tawanan Daha.

Sora bukan hanya dikenal dengan keberanian dan ketangkasan, tetapi juga dengan pertimbangan yang matang. Soralah yang memberi pertimbangan kepada Wijaya agar segera mundur karena kurangnya jumlah pasukan mereka. Meskipun Wijaya adalah pangeran penerus tahta Singasari, tetapi ia menerima saran dari Sora. Awalnya ia memang masih ingin menyerang, mungkin masih ada harapan menemukan istri mudanya. Wijaya memang memperistri dua putri Kertanegara. Tidak heran, karena ia dan putri Kertanegara masih sepupu jika dilihat dari garis keturunan Ken Dedes. Bedanya, istri-istrinya merupakan cicit Tunggul Ametung, sedangkan Wijaya adalah cicit Ken Arok.

Keesokan harinya, mereka terkejar oleh pasukan Daha. Para perwira dan prajurit yang mengawal Wijaya dan istri bergantian menyerang musuh dengan tujuan menghadang gerak maju mereka. Saat itulah Gajah Pagon terkena tombak musuh, pahanya tembus. Wijaya bertanya padanya: apakah ia masih bisa berjalan? Jika tidak, lebih baik mereka mengamuk kembali. Gajah Pagon berkata bahwa ia masih bisa berjalan asalkan perlahan. Mereka kemudian memilih menyelamatkan diri masuk ke hutan. Sedangkan pasukan Daha tidak melanjutkan pengejaran.

Setelah sekian lama mereka berkelana dalam hutan, para perwira Wijaya bermusyawarah bagaimana cara menyelamatkan tuannya. Singkatnya, mereka menyarankan tuannya mengungsi ke Madura. Meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja, Adipati Sumenep. Alasan mereka, Wiraraja pernah berhutang jasa kepada ayah Wijaya. Berkat ayah Wijaya, Wiraraja menjadi orang besar di Singasari, meski kemudian ia diturunkan menjadi Adipati oleh Kertanegara. Ini pulalah yang memicu kekecewaan Wiraraja, hingga ia memihak pada Jayakatwang dari Daha (Kediri).

Awalnya Wijaya ragu mendengar saran para perwiranya, tetapi Sora, Ranggalawe dan Nambi serentak berkata, "Tuanku, apa sebab Wiraraja akan berpaling dari Tuanku?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline