Beberapa hari belakangan ini media ramai memberitakan Pak Ahok yang tidak mengikuti Instruksi Gubernur DKI Jakarta untuk tahun 2014. Semua pejabat dan pegawai tidak boleh naik kendaraan bermotor pribadi atau dinas setiap satu Hari Jumat dalam sebulan, kecuali terkait dengan pelayanan untuk masyarakat. Sepertinya tidak sulit dilakukan, toh cuma sehari sebulan. Namun untuk hal yang sepertinya mudah dilakukan, bagi Pak Ahok galau untuk mengikuti Instruksi, dengan alasan tidak ada kendaraan umum yang melintas di dekat kompleks perumahannya, musti ganti bus beberapa kali, akan terlambat dan kesiangan tiba di kantor, tidak sanggup bangun lebih pagi karena setiap hari sudah bangun sekitar pukul 05.00, mengurangi waktu tidur yang cukup karena setiap hari selalu pulang kantor malam, dan lainnya.
Alasan Pak Ahok memang benar. Mungkin semua masyarakat Jakarta dan sekitarnya merasakan sendiri susahnya transportasi berangkat dan pulang kerja. Berangkat subuh ketika hari masih gelap, anak-anak di rumah masih tidur. Pulang senja dan tiba di rumah sudah malam, anak-anak di rumah sudah tidur. Terus kapan ketemu dan bercanda dengan anak-anak yang sebenarnya orangtua bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka juga? Imbas susahnya kerja di Jakarta memang tidak hanya mengenai pegawai, namun juga keluarga seperti anak dan istri. Misalnya berangkat kantor butuh waktu 1,5 jam, maka sehari waktu terbuang di jalan 3 jam. Apabila satu bulan maka 3 jam dikalikan 20 hari kerja, menjadi 60 jam habis di jalan.Apabila satu tahun maka 60 jam dikalikan 12 bulan, menjadi 72 jam. Jadi bisa dibayangkan pekerja di Jakarta setiap tahun menghabiskan waktu 3 hari penuh di jalan.
Banyak teman yang menikmati hidup di luar Jakarta seperti Yogya, Solo, Semarang, dan lainnya menganggap hanya orang “gila” yang mau menjalani hidup di Jakarta. Mereka bisa berangkat kerja pukul 07.30, tiba di kantor sebelum pukul 08.00. Pulang kerja dan tiba di rumah bisa pukul 17.00, kalau mau masih ada kesempatan olahraga bersama teman seperti tenis, bulutangkis, atau futsal. Sebelum istirahat malam masih bisa mengantar anak ke toko buku atau sekedar makan malam di resto favorit keluarga atau berkunjung ke rumah tetangga atau teman. Betapa nikmat lahir batin bisa bekerja, berkeluarga, dan bersosialisasi secara sehat.
Lagi-lagi teman-teman di luar Jakarta maklum apabila banyak yang tinggal dan bekerja di Jakarta dirasakan aneh. Misalnya, sulit bersikap ramah, sering curiga, kurang sabar, kurang toleransi, mau menang sendiri, songong, sulit berempati, dan lainnya. Lingkungan Jakarta sedikit banyak berkontribusi menciptakan manusia-manusia keras hati: tuntutan kerja yang kompetitif dengan apresiasi minim, transportasi yang berat untuk berangkat dan pulang kerja, biaya hidup yang tinggi, dan kota yang sumpek minim ruang terbuka hijau sekedar melepas penat dan sosialisasi.
Kalau jujur, apa yang dilakukan Pak Ahok merupakan ekspresisulitnya mengikuti peraturan tanpa didukung sarana dan prasarana yang memadai. Instruksi Gubernur DKI Jakarta bagus untuk memulai program pemanfaatan kendaraan umum demi mengurangi kemacetan, sementara sebagai Pegawai Pemprov siap memberikan teladan. Namun ketika Instruksi belum bisa dilakukan sepenuhnya, juga perlu dimaklumi sambil mengupayakan sarana dan prasarana yang mendukung.
Sebagai gambaran, beberapa kota maju dunia telah memodifikasi kendaraan umum seperti bus dengan fasilitas tempat menaruh sepeda. Sopir bus bekerja dengan prinsip pelayanan prima untuk kepuasan penumpang. Penumpang juga nyaman naik bus dan dilanjutkan dengan bersepeda menuju lokasi kantor, sekolah , atau tempat lainnya. Sekiranya fasilitas sederhana nan ramah ini bisa diterapkan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H