Sejak 27 Juli lingkungan di sekitar saya sedang sibuk belajar tentang keberagaman dalam Program "Summer School" yang diadakan oleh Nusantara School of Difference. Karena menggunakan bahasa Inggris ("Summer School"), saya tidak berani mendaftarkan diri sebagai murid. Saya tidak fasih berbahasa Inggris.
Mungkin perlu dimaklumi mengenai bahasa, karena "Sekolah Musim Panas" ini memang digagas oleh orang luar negeri, yaitu Prof. Adam Seligman dari Amerika Serikat. Prof. Adam adalah pemimpin Community Engaging with Difference And Religion (CEDAR) yang berpusat di Negeri Paman Sam, dan bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
2017 merupakan kali pertama Sekolah Musim Panas dibuka. Bertempat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan bekerja sama dengan Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC), "sekolah" itu berisi 26 murid yang berasal dari dalam dan luar negeri. Luar negerinya ialah Amerika Serikat, Uganda, Jepang, dan Prancis.
Sama seperti tahun ini (2019), sekolah tentang perbedaan itu dimulai pada 27 Juli sampai dengan 9 Agustus. CEDAR pun bekerja sama dengan IRGSC.
Kebetulan saya datang ke Kupang pada 6 September 2017 sehingga tidak mengetahui adanya sekolah tersebut. Meski datang lagi pada 8 Mei 2019, saya tidak berani mendaftarkan diri, karena, ya, tadi. Saya tidak fasih berbahasa Inggris.
Kalau sekolah tersebut mengajarkan perihal kebersamaan dalam perbedaan selama dua minggu, saya belajar perihal perbedaan selama bertahun-tahun. Di kampung halaman saya saja sudah terlihat perbedaan, juga sewaktu TK sampai SMP berisi murid-murid dari beragam etnis (Melayu, Palembang, Jawa, Tionghoa, Flores, Batak, Bugis, Manado, dan lain-lain) dan di gereja (pastor dari Belanda dan Jerman).
Keluarga besar (dekat dan jauh) saya pun terdiri dari percampuran agama dan etnis. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Kong Hucu. Melayu Bangka, Jawa, Madura, Lombok, Palembang, Batak, Minang, Bugis, Mandar, dan lain-lain.
Selain itu, juga soal jender hingga "kaum AC/DC", status sosial-ekonomi, dan entah apa lagi. Ya, saya belajar mengenai perbedaan sejak kanak-kanak, karena situasi yang melingkupi saya.
Lalu saya belajar lagi ketika merantau ke Pulau Jawa, termasuk ke Bandung, Jakarta, dan Bogor, berpindah domisili di Balikpapan dengan menikahi gadis Balikpapan yang dari keturunan Filipina, Tionghoa, Dayak, dan Bugis, hingga bisa berkunjung ke NTT.
Hal-hal yang menyangkut prasangka sekaligus "vonis sosial" (stereotipe) pun biasa saya dengar dari lingkungan sekitar saya. Dalam masa pergaulan sana-sini di dalam negeri saja saya berkesimpulan sementara bahwa semua tergantung pada orangnya (manusia).
Tentu saja saya belajar mengenai keberagaman secara nyata itu tanpa perlu menggunakan bahasa Inggris, dan tidak perlu menunggu "musim panas" sampai ada orang asing, semisal dari Amerika Serikat, repot datang hanya untuk mengajari saya. Kasihan banget, karena jarak yang jauh bisa menguras tabungannya serta waktu-waktunya (bukankah "waktu adalah uang"?).