"Senin kita harus mulai membangun. Sekarang baru Rabu. Apakah kamu bisa bekerja sama dengan kepala tukang yang mengalami gangguan pendengaran?"
Begitu pertanyaan dari seorang kawan yang saya terima sebelum pertemuan dengan seorang tukang bangunan di Kupang. Kawan saya mengetahui sedikit informasi mengenai pendengaran si calon mitra kerja saya itu dari kawannya juga.
Kondisi kepala tukang yang "bergangguan pendengaran" seketika mengingatkan saya pada kepala tukang yang membangun rumah mungil saya di "Kebun Karya", Balikpapan. Kepala tukang itu menjadi pilihan terakhir ketika beberapa tetangga terdekat (yang juga tukang bangunan) sedang suntuk menunaikan tugas masing-masing.
Memang terjadi situasi yang "menggemaskan" karena komunikasi verbal (berbicara) merupakan hal terpenting dalam pekerjaan, terlebih posisi saya sebagai pemilik sekaligus pemberi pekerjaan. Salah pengertian menjadi "bumbu" dalam berkoordinasi dan bersosialisasi. Akan tetapi, toh, rumah mungil saya terbangun.
Artinya, saya pernah bekerja sama dengan kepala tukang yang mengalami gangguan pendengaran. Sederhananya adalah bisa. Entah bisa pusing sendiri ataukah bisa terwujud dalam bentuk fisik berupa rumah.
Di Kupang kali ini saya merangkap posisi, dan bukan lagi pemilik rumah. Menjadi perencana, perancang, supervisor, manajer lokasi, manajer projek, dan pemesan material terkait ke toko material untuk melaksanakan pekerjaan dari si pemilik rumah yang baru satu kali bertemu secara langsung dengan saya dan ia berada di luar negeri.
Akan tetapi, realitas yang saya hadapi ialah bekerja dengan orang baru (tukang dan rombongannya), waktu (tenggat), dan jadwal pekerjaan. Sementara hal-hal yang berkaitan langsung dengan pekerjaan itu ialah "kekurangan"-nya mitra kerja saya, seberapa kapasitas (kemampuan) tukang dalam pekerjaan, keterbatasan ruang kerja dan waktu, tempat penyedia material terkait, dan saya "buta" mengenai jalan-jalan di Ibu Kota NTT ini.
Sejak bertemu dengan tukang, bernegosiasi harga jasa, memulai pekerjaan dan waktu sudah sampai dua minggu ini, realitas di atas pun terjadi sesuai dengan prediksi saya. Meski "daya dengar" si kepala tukang satu ini tidaklah "separah" kepala tukang yang membangun rumah mungil saya di Balikpapan, mau-tidak saya harus berkompromi dengan keadaan. Kondisi lokasi, ketersediaan material sekaligus hal-hal terkait, sumber daya manusia, koordinasi-sosialisasi, dan lain-lain, termasuk ketersendatan dana (transfer dari luar negeri) karena situasi liburan lebaran.
Situasi yang nyata semacam itu, mau-tidak mau, tidak bisa saya "paksakan" dengan jadwal yang berstandard normal. Ya, kalau tukang memiliki standard "normal" dalam hal fisik (pendengaran) maupun pengalaman kerjanya, jadwal yang berstandard normal dengan kurva "S", realisasi, dan deviasinya bisa dipakai seperti projek-projek rumah tinggal berstandard normal di masa lalu saya.
Banyak hal baru, dan membutuhkan "kompromi". Sebagian pengalaman saja yang bisa saya gunakan kembali. Selebihnya merupakan improvisasi yang relevan-situasional. Biasa-biasa saja, 'kan?