Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Sekadar Udaran

Diperbarui: 26 Mei 2019   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Waktu berlalu begitu saja dalam lelap orang-orang pada dini hari di sudut Kota Kupang. Saya berhenti sejenak dari menggaris, menera angka, dan membuat jadwal pelaksanaan pekerjaan pembangunan.

Ya, saya ingin membaca berita, apa yang sedang terjadi di luar sana. Ada tokoh yang telah pergi untuk selamanya. Ada yang merayakan angka yang tidak lagi belia, seperti artikelnya Pak Tjip, "Syukur kepada Tuhan, Hari Ini Usia Saya Genap 76 tahun" (21 Mei 2019), yang mendapat stempel "Artikel Utama".

Pak Tjip yang bertanggal lahir 21 Mei 1943 seakan sedang mengingatkan saya pada orang-orang tercinta, terutama ibu dan mertua saya (mamanya istri saya). Pada 8 Mei di bandara Juanda saya ditelepon Ibu, dan sangat terngiang kalimat Ibu, "Ibu kangen, Le." Pada tanggal itu juga Mama masih berada di Jakarta setelah bertamasya ke Luxembourg bersama kakak ipar saya.  

Ibu saya lahir pada 26 November 1939. Mama lahir pada 26 November 1943. Tanggal lahir yang sama. Sementara Bapak telah pergi pada 11 Maret 2016 dalam usia 86 tahun, dan Papa terlebih dulu pada 23 Maret 2013 dalam usia 77 tahun. Begitulah sebagian misteri ilahi.

Begitu pula sejak lima tahunan ini di Kompasiana saya bersua dengan Pak Tjip yang bertahun kelahiran sama dengan Mama (1943). Hanya saja, Pak Tjip rajin menulis, dan diam-diam saya sering "mengintip" artikel-artikel beliau.

Lantas, apa yang mendadak hinggap dalam benak saya pada saat sedang lembur di tempat yang jauh dari keluarga, jauh dari kasur yang sanggup menggusur "kerusuhan" harian, bahkan tidak seperti Pak Tjip yang masih begitu aduhai dipeluk oleh Bu Tjip pada saat ulang tahun?

Kalau mengingat usia dan orang-orang yang telah pergi untuk selamanya, baik yang belum mau pun sudah 80 tahun, terlebih ketika berada di rumah duka, apa yang dimiliki di dunia seakan hanyalah angin. Segala keinginan pada akhirnya menjadi kesunyian abadi.

Kepergian yang meninggalkan warisan harta-benda juga biasa. Beberapa lahan milik orangtua saya di Bangka yang hendak diwariskan, salah satunya, pada saya, jauh waktu saya menolaknya, karena saya dan istri sudah diwariskan sebidang lahan di Balikpapan. Itu pun saya kerepotan menanganinya.

Saya pikir, apalah arti semua warisan jika usia selalu bergerak bersama angin. Semua usaha meraup harta-benda, popularitas, posisi yang bagus dalam status sosial, dan segala hal duniawi seakan hanya menjaring angin. Kalau usia saya ditutup sebelum 50 tahun, ah, apa pun yang saya miliki serta yang saya ingin raih tidaklah lebih dari "usaha menjaring angin"-nya Salomo dalam Kitab Pengkhotbah.

Sayup-sayup suara azan Subuh dari dua masjid entah di ujung mana menghentikan lamunan saya. Saya harus menyelesaikan apa yang sedang saya kerjakan dalam tugas pertama di bidang rancang-bangun. Masih ada tugas selanjutnya, yakni berkaitan rencana penerbitan buku seorang pensiunan guru SMP di Kota Kupang, membuat lukisan dinding (mural) di sebuah gedung PAUD, dan entah apa lagi selanjutnya.

Waktu memang paling tidak peduli, apakah orang hidup sedang berlomba-lomba dengan angin ataukah sejenak menyingkir dari desiran sekadar untuk merenungi jejak kehidupan. Mungkin saya perlu beristirahat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline