Kerusuhan di Jakarta gara-gara Prabowo kalah dalam Pilpres 2019 menyebabkan pemerintah melakukan pengendalian terhadap jaringan internet, khsususnya media sosial, yaitu Facebook dan WhatsApp, pada 22 Mei lalu. Beberapa orang, khususnya pelaku bisnis atau wirausaha, mengeluh, dan keluhan mereka sampai ke meja redaksi saya. Ciyeee... meja redaksi ni, ye?
Akan tetapi, saya bisa berbuat apa? Jelas, cuma menjadi tempat penampungan keluhan!
Tidak apa-apa, deh, saya menjadi tempat penampungan keluhan. Toh, situasional saja. Toh, tidak akan selamanya. Toh, saya memang tidak sedang terkait dengan kepentingan bisnis yang diburu tenggat. Kesempatan ini boleh-boleh saja mereka manfaatkan, meski sekadar mengudar rasa. Iya, to?
Baiklah. Mungkin situasi Ibu Kota sangat penting nan genting bagi sebagian pihak. Dan, entah apa lagi penting nan gentingnya bagi pihak lainnya. Hanya saja, kepentingan dan kegentingan saya tidaklah berkaitan dengan situasi Ibu Kota.
Bagi saya, soal Pemilu sudah selesai pada puncaknya, yaitu pengumuman hasilnya dari KPU. Saya pun bisa kembali suntuk dengan pekerjaan saya. Ini justru paling realistis dan logis. Hidup harus dilanjutkan. Biaya hidup harus dibereskan. Saya bekerja tanpa kaitan dengan kepentingan negara, semisal proyek apalah.
Bagi saya lagi, persoalan bangsa-negara terkini tidaklah sama dengan dua puluh satu tahun silam, dimana para mahasiswa benar-benar turun serentak di banyak kota untuk melengserkan rezim tiga puluh dua tahun.
Bahkan, sebagian besar alumni 1998, termasuk Tilaria Padika alias George Hormat, tidak menjadikan persoalan terkini (Pilpres 2019) sebagai sesuatu yang patut ditentang habis-habisan hingga berujung kerusuhan. Tidak terlihat barisan mahasiswa kritis-vokal yang turun ke jalan seperti 1998. Pokoknya, ah, tidak seperti 1998, deh.
Kebetulan posisi saya pun jauh dari hiruk-pikuk Ibu Kota Negara. Kebetulan di tempat tinggal sementara saya sekarang tidak terdapat televisi--saya patut bersyukur atas ketiadaan "benda" ini. Kebetulan saya sedang berusaha mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya--paling realistis dalam keseharian saya. Pokoknya, saya harus menyiasati "kerusuhan" yang sesungguhnya dalam hidup saya serta tidak tergantung pada siapa pun yang gagal atau berhasil menjadi presiden RI.
Nah, kalau kerusuhan di Ibu Kota masih saja berlangsung bahkan semakin anarkis, saya yakin, negara mampu mengatasinya. Mau memakai cara apa pun, itu wewenang negara. Sementara wewenang saya adalah sebagai kepala rumah tangga sambil sesekali menulis yang tidak penting apalagi genting semacam ini, dan negara tidak usah repot mengurusi saya sekeluarga. Gitu aja kok ngepot?
*******
Kupang, 23 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H